Saya mendorongnya lebih kuat sampai terbuka tanpa menemukan seorangpun. Mungkin penghuni sebelumnya selalu memalang pintunya hingga terasa berat.
Di dalam, saya mendapati ruang tengah yang sedikit luas, beberapa barang teronggok, seperti sepeda rusak, jaket bomber yang sobek, ada juga beberapa serpihan kantung sembako.Â
Saya pun memasuki kamar tidurnya, kosong, hanya beberapa sepatu snikers butut dan kemeja motif kotak-kotak yang warnanya sebagian punah.Â
Masih ada tertinggal satu lemari pakaian reyot yang kosong, di kayu dalamnya saya membaca tulisan seperti tulisan anak-anak. Kenangan manis telah selesai! Begitu saya membacanya.
Saya kembali ke ruang tengah dan mengambil catatan survei dan menuliskan apa yang saya temukan, setelah itu saya melangkah ke luar.
Kembali berjalan beberapa puluh meter untuk menggapai rumah selanjutnya.
Saya membuka pintunya yang ringan, sepertinya bekas penghuninya adalah seorang yang suka menolong, atau sukarelawan.Â
Ketika saya menginjak ke dalam, rumah ini begitu luas, ada meja besar dengan banyak kursi yang masih cukup baik kondisinya. Di ruangan lain yang cukup besar ada kain-kain sablon yang sudah lusuh.Â
Beberapa banner bertumpuk, tapi tulisannya sudah menghilang hanya terbaca tiga kata tersisa. Relawan sampai mati! Membuat saya mengangguk-angguk, berusaha memahami yang tidak saya mengerti.
Lalu saya mengeluarkan catatan survei dan menuliskan apa yang saya saksikan.
Ketika saya meninggalkan rumah terakhir ini, saya merasakan capek, dan beristirahat di sebuah taman yang sudah gersang, taman itu seperti mengalami musim gugur yang hebat. Tanamannya tidak berdaun dan pohonnya tersisa tunggulan saja.
Saya memandang sekeliling dan melihat kawasan perumahan itu tampak lantak dan semua pohon tumbang. Tidak saya temukan seorangpun untuk bisa menghitung orang-orang di dalamnya. tetapi saya tetap berusaha menghitungnya dengan data yang ditinggal para pemiliknya.