Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Kamu, dan Pohon di Jendela

23 Oktober 2023   23:11 Diperbarui: 24 Oktober 2023   00:31 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Aku menguburkanmu tak jauh dari jendelaku, sehingga aku bisa memandangmu kapan ku mau.

Itu sembilan tahun yang lalu, dan kala itu pohon di sisi kuburanmu belum ada.

Aku sendiri tak pernah menyangka, setelah sekian lama, pohon itu menjadi begitu besar, dia seperti seraut wajah yang tiba-tiba saja terangkat dari rongga tanah.

Dan semenjak pohon itu besar, aku memiliki dikotomi kematian dan kehidupan, aku jadi berdiri di garis batas kehidupan dan kematian.

Selain gede, pohon itu begitu tinggi sehingga puncak rantingnya seperti menyentuh awan, terkadang jika segala angin meniup, pohon itu bernyanyi dari suara gesekan daun-daunnya.

Kini lewat jendela, aku harus berbagi waktu memandang pohon dan nisanmu, nggak seperti dahulu lagi, hanya satu kamu. 

Bahkan, pohon itu menjadi kehidupan lain di dalam kepalaku.

Ketika saban malam aku menutup jendela, kepalaku seperti masih tertinggal di luar, tidak ada sekat jendela antara aku dan pohon.

Jendelaku mungkin naik atau turun, tetapi pohon itu tidak pernah pergi

Dia mengamatiku tidur, bangun, sarapan, dan gerak tubuhku yang lain. Itu seperti menyatukan kepala kami, nasib dan imajinasi kami.

Tapi pohon itu mementingkan hal cuaca di luar, sedangkan aku berada di dalam cuaca batin, di titik itu kami memang tidak pernah bertemu.

Pohon itu di luar dengan segala cuaca, teduh maupun badai, pohon itu telah ada, tetap, dan selalu ada. Pohon itu selalu hadir dalam hidupku,

Hingga di satu pagi yang bagus, aku keluar dari jendela dan berjalan menuju pohon dan kuburanmu sembari memanggul segulung tali tambang.

Aku menekuri batu nisanmu dan membuka pembicaraan, namun hanya suara gemerisik daun menyapa telingaku. 

Aku sukak dan berlama di kotak nisanmu di temani pohon, pohon itu semakin menggesekkan daunnya bersuara dengan kepala besarnya yang terangkat.

Aku menatap pohon, dan aku melihat kehidupan yang teguh yang tidak dimiliki oleh kehidupan lainnya. Pohon itu balas menatapku, sehingga kami saling bertatapan.

Aku menyentuh kulit batangnya dan mendengar suara daunnya berusaha menyatukan pikiran kami tentang takdir pohon yang sangat memikirkan cuaca luar dan aku, sangat memikirkan cuaca dalam. Membuatku diam dan terhenyak.

Aku tidak bisa berhubungan seperti ini lagi dan harus menyelesaikan hubungan ini! Bisikku.

Tapi pohon bergeming, dia tetap tegak mengangkat wajahnya, dan tetap mengeluarkan suara gemerisiknya tanpa henti, dia tetap hanya peduli pada dunia luarnya.

Aku membelai makammu yang tetap sunyi juga pohon yang gemerisik, lalu memanggul kembali tali tambang yang tadi ku bawa, yang semula ku rencanakan untuk menggantungkannya di ketinggian yang cukup.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun