Tapi pohon itu mementingkan hal cuaca di luar, sedangkan aku berada di dalam cuaca batin, di titik itu kami memang tidak pernah bertemu.
Pohon itu di luar dengan segala cuaca, teduh maupun badai, pohon itu telah ada, tetap, dan selalu ada. Pohon itu selalu hadir dalam hidupku,
Hingga di satu pagi yang bagus, aku keluar dari jendela dan berjalan menuju pohon dan kuburanmu sembari memanggul segulung tali tambang.
Aku menekuri batu nisanmu dan membuka pembicaraan, namun hanya suara gemerisik daun menyapa telingaku.Â
Aku sukak dan berlama di kotak nisanmu di temani pohon, pohon itu semakin menggesekkan daunnya bersuara dengan kepala besarnya yang terangkat.
Aku menatap pohon, dan aku melihat kehidupan yang teguh yang tidak dimiliki oleh kehidupan lainnya. Pohon itu balas menatapku, sehingga kami saling bertatapan.
Aku menyentuh kulit batangnya dan mendengar suara daunnya berusaha menyatukan pikiran kami tentang takdir pohon yang sangat memikirkan cuaca luar dan aku, sangat memikirkan cuaca dalam. Membuatku diam dan terhenyak.
Aku tidak bisa berhubungan seperti ini lagi dan harus menyelesaikan hubungan ini! Bisikku.
Tapi pohon bergeming, dia tetap tegak mengangkat wajahnya, dan tetap mengeluarkan suara gemerisiknya tanpa henti, dia tetap hanya peduli pada dunia luarnya.
Aku membelai makammu yang tetap sunyi juga pohon yang gemerisik, lalu memanggul kembali tali tambang yang tadi ku bawa, yang semula ku rencanakan untuk menggantungkannya di ketinggian yang cukup. Â