Aku menguburkanmu tak jauh dari jendelaku, sehingga aku bisa memandangmu kapan ku mau.
Itu sembilan tahun yang lalu, dan kala itu pohon di sisi kuburanmu belum ada.
Aku sendiri tak pernah menyangka, setelah sekian lama, pohon itu menjadi begitu besar, dia seperti seraut wajah yang tiba-tiba saja terangkat dari rongga tanah.
Dan semenjak pohon itu besar, aku memiliki dikotomi kematian dan kehidupan, aku jadi berdiri di garis batas kehidupan dan kematian.
Selain gede, pohon itu begitu tinggi sehingga puncak rantingnya seperti menyentuh awan, terkadang jika segala angin meniup, pohon itu bernyanyi dari suara gesekan daun-daunnya.
Kini lewat jendela, aku harus berbagi waktu memandang pohon dan nisanmu, nggak seperti dahulu lagi, hanya satu kamu.Â
Bahkan, pohon itu menjadi kehidupan lain di dalam kepalaku.
Ketika saban malam aku menutup jendela, kepalaku seperti masih tertinggal di luar, tidak ada sekat jendela antara aku dan pohon.
Jendelaku mungkin naik atau turun, tetapi pohon itu tidak pernah pergi
Dia mengamatiku tidur, bangun, sarapan, dan gerak tubuhku yang lain. Itu seperti menyatukan kepala kami, nasib dan imajinasi kami.