Awakku kok terasa seperti bolong, ya Yun! Katanya ketika itu.
Kali ini sudah ketiga kali mamak mengatakan tentang rongga di tubuhnya dan saya tau itu adalah luka. Â Dua luka kehilangan, pertama belahan jiwanya dan kedua, putra bungsunya.
Bukan satu lubang, tetapi dua, Yun! Lanjut ibu menegaskan.
Saya membeku, betapa dua lubang luka itu hanya menyiskan sepi dan rindu di tubuh Emak di dalam melengkapi hari-hari ujungnya.
Sejalan dengan waktu-waktu tepinya, ibu semakin sepi bicara, makanpun selalu tersisa lebih separuh, sementara matanya tampak begitu jarak.
Barangkali ini adalah waktu-waktu diam dari Mamak bersama saya, yang menjalani ritme waktu panjangnya yang mulai melambat.
 Sampai di satu kali, Emak berbicara beberapa.
Yun, sopo yang mesti ku pilih buat menambal bolong awak ku ini, ya? Bapakmu apa adikmu! Tanya Emak tiba-tiba.
Seleluasa Mamak saja, Mak! Saya hanya menjawab kelu.
Lama sehabis itu dia berpikir.
Tak pikir, biar adikmu saja yang menambal satu bolong Emak ini, ya! Katanya. Mata Mamak terlihat seperti kaca berair bening.
Saya mengelus lengan kurusnya dan menggangguk. Pastinya emak sangat menyayanginya lebih! Kata saya lirih.
Mamak tidak menjawab, tubuhnya mematung agak lama.
Tapi, Mak masih punya sisa satu lubang yang bakal Mak bawa pergi! Kata ibu nyaris tak terdengar.
Saya diam dan menelan di tenggorokan saya yang tiba-tiba tercekat menahan rasa.