Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Lubang Luka di Tubuh Emak

11 Agustus 2023   15:51 Diperbarui: 11 Agustus 2023   16:00 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Saya masih memandang kejauhan padahal saya merasa sedekat itu, dekat sekali dengan tanah. Ibu saya yang jarang merajuk, hanya sesekali jua mengatakan bahwa dia pernah kehabisan waktu.

Buat apa? Tanya saya.
Ibu memandang saya, seperti mengharuskan saya berpikir, bahwa saya pernah juga kehilangan waktunya, meskipun tak banyak.

Itu tidak sama dengan adikmu, Yun! Tukas mamak saya.
Saya diam saja, memang kadang pikiran saya tumpul dan bebal.

Maafkan Mak! Jawab saya
Ibu membuang matanya yang gundah ke tanah.

Bukan saja Ibu yang terlambat, tetapi adikmu itu juga selalu telat! Lirih Mamak.
Sudahlah , Mak! Jawabku.

Dia selalu lelet dalam hidupnya! Lanjut Mamak, matanya masih terbuang di tanah.
Saya pun meraih pundaknya, berupaya untuk menggesernya dari lubang tanah di hadapannya, tetapi Mamak menepis halus.

Selanjutnya kedua kami terdiam jeda, membiarkan pikiran kami menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi saya merasa alam pikiran saya dan emak akan selalu bertemu di ujungnya bahkan di dalam keabadiannya.
***
Saya masih mengenang masa-masa  akhir emak, dia tidak lagi gairah bercerita, kecuali kembali mengeluh, betapa hanya sedikit waktu yang sudah diberikan kepada adik saya, anak bungsu kesayangannya.

Saya tidak bisa menolongnya, kecuali membiarkan waktu mengambil ikhlasnya. Tetapi emak sudah berjalan cukupjauh, dan berada di ujung umur, sehingga terkadang keikhlasannya berganti rupa menjadi kerinduan.

Adikmu Yun, dia yang paling akhir datang dan juga paling awal pergi! Kata emak ketika kegalauannya merambat.

Saya hanya memandang wajah tuanya yang menyimpan keletihan atas kepergian dua orang, yang pernah ada di paling dalam hatinya.

Awakku kok terasa seperti bolong, ya Yun! Katanya ketika itu.

Kali ini sudah ketiga kali mamak mengatakan tentang rongga di tubuhnya dan saya tau itu adalah luka.  Dua luka kehilangan, pertama belahan jiwanya dan kedua, putra bungsunya.

Bukan satu lubang, tetapi dua, Yun! Lanjut ibu menegaskan.

Saya membeku, betapa dua lubang luka itu hanya menyiskan sepi dan rindu di tubuh Emak di dalam melengkapi hari-hari ujungnya.

Sejalan dengan waktu-waktu tepinya, ibu semakin sepi bicara, makanpun selalu tersisa lebih separuh, sementara matanya tampak begitu jarak.

Barangkali ini adalah waktu-waktu diam dari Mamak bersama saya, yang menjalani ritme waktu panjangnya yang mulai melambat.

 Sampai di satu kali, Emak berbicara beberapa.
Yun, sopo yang mesti ku pilih buat menambal bolong awak ku ini, ya? Bapakmu apa adikmu! Tanya Emak tiba-tiba.
Seleluasa Mamak saja, Mak! Saya hanya menjawab kelu.

Lama sehabis itu dia berpikir.
Tak pikir, biar adikmu saja yang menambal satu bolong Emak ini, ya! Katanya. Mata Mamak terlihat seperti kaca berair bening.

Saya mengelus lengan kurusnya dan menggangguk. Pastinya emak sangat menyayanginya lebih! Kata saya lirih.

Mamak tidak menjawab, tubuhnya mematung agak lama.
Tapi, Mak masih punya sisa satu lubang yang bakal Mak bawa pergi! Kata ibu nyaris tak terdengar.

Saya diam dan menelan di tenggorokan saya yang tiba-tiba tercekat menahan rasa.

***

Saya menengadah, sore memang masih belum matang, matahari masih juga belum mau pulang.  

Dan saya semakin dekat ke tanah di kaki saya. Membungkuk dan membiarkan tubuh Emak turun ke tanah, tepat di atas tanah almarhum adikku, anak terakhir cinta Mamak.

Perlahan Emak diturunkan dan menempati liang tanah, sampai tepat di satu posisi, lubang di tubuh Emak tertutup oleh adikku. Sementara lubang satunya masih saja menganga.

Saya membelainya ketika Mak tiba di posisinya.
Saya berbisik menenangkannya, dan saya berjanji kepada Emak, bahwa saya akan menutup lubang luka yang satunya kelak ketika tiba waktunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun