Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Kesalahan

27 April 2023   12:07 Diperbarui: 27 April 2023   12:08 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tiba terlambat dua jam dia masih menunggu dengan memangku cintanya. Malam itu pukul sembilan yang seharusnya pukul tujuh. Duduk di tepi meja kafe yang separuh kosong, perempuan itu bersinar meski lampu separuh berpayung itu meremang di atas meja kayu.

Maaf saya begitu silam, ada suatu kerja yang mesti dilakukan! Jelas saya kaku.
Dia mengangguk dengan senyumnya yang telah tersimpan dua jam, sembari membuka piring makan malam yang berukir kafe. Wanita pesona yang indah dan sabar, saya selalu mengaguminya.

Lalu saya mengambil aba-aba untuk memesan kartu menu kepada pelayan, sementara di meminum lemon di gelasnya sembari menatap saya, saya balik membalas matanya.

Apakah kau memakai parfum berbeda? Tanya saya sembari mengendus. Dia menggeleng.
Tidak! Aku pikir kau memakai parfum? Jawabnya. Matanya terlihat heran.
Tidak! Kau tau saya tak memakai parfum! Jawab saya dan saya kembali mulai mengendus lebih cermat wangi berbeda ini dan mulai melihat kesalahan pada dua jam keterlambatan date ini.

Beruntung santapan kami tiba sehingga aroma berganti semerbak masakan sedap, dan perut kami yang melompong tak lagi sabar menanti. Saya makan dengan rakus sementara dia menyuap dengan anggun, itu salah satu yang membuat saya jatuh hati, dia kontras dengan saya yang serabutan. 

Waktu berlaku segera sehingga kami keluar dari kafe pukul sepuluh, saya mengambil tangannya dan kami berjalan bersentuhan.
Aku suka parfummu! Bisiknya lembut.
Parfum?
Ya, aku juga suka kau mulai memakainya malam ini!
Ah.. Kembali saya berdesah sembari mencoba menelusuri kembali aroma parfum yang melingkupi tubuh saya, namun hanya semriwing, tapi tetap terindra, dan saya semakin merasa telah membuat kesalahan.

Tiba langkah di parkir mobil, saya membukakan pintu vehicle tua saya untuk menyilakannya masuk, dia senyum menawan dengan perilaku gentle saya.

Dia melangkah dan duduk di jok, elegan dengan postur tegaknya yang indah, lalu saya memutar kunci menghidupkan engine dan melajukan kendaraan yang segera melepas pedestrian jalan.

Are you ok? Tanya saya basa basi.
Dia menoleh memandang supirnya. Aku mencium parfum baru kamu lebih menyengat di dalam sini! Katanya dengan paras inosen.
Oh iya?
Iya!
Ah, mungkin parfum sample itu tercecer di laci mobil! Atau entah saya lupa! Kata saya ngasal.

Tapi aku suka fragransnya! Jawabnya sembari tangan lentiknya membuka laci dasbor di hadapannya, dan seketika kap kecil laci terungkap, satu kain renda mungil bergulir terjatuh dan dia sigap menangkapnya.

Saya menoleh dan berdegup, memandang  selarik pakaian dalam biru yang sudah berada dalam genggamannya, seketika dia melempar benda itu ke jok belakang.

Aku akan berhenti disini! Tiba-tiba dia berkata keras.
Tunggu, saya akan menjelaskannya! Kata saya gugup sembari menekan pedal brake buat menepi, namun terlambat, dia lebih segera memutar tuas pintu dan melompat ke luar.

Saya turun dan mendekat. Maaf, ini tidak seperti yang kau  kira! Benda itu bukan milik siapa-siapa! Jelas saya.
Ya, tentu saja! Itu milik seekor kucing! Katanya meninggalkan saya dan berlari menyetop sebuah taksi. 

Saya memandanginya bersama hilang taksinya sembari memegang kening kepala saya. Ah! Betul, saya membuat satu kesalahan! Hentak saya memukul kepala.
***
Dia pergi setelah itu dan saya tak melihatnya lagi semenjak itu. Dia tidak di tempatnya. Saya terus pergi ke sana dan meninggalkan catatan tertempel di pintu. Tapi ketika saya kembali dan catatannya masih ada.

Saya mengambil buku puisi saya dan sekuntum bunga lalu mengikatnya di pintu rumahnya, ketika saya kembali malam berikutnya semuanya masih ada.

Saya terus mencari di jalan-jalan yang pernah menyimpan jejaknya dengan kendaraan tua saya yang semakin sebal karena engsel pintunya selalu bermasalah.
Saya tidak menemukan sekeping udara pun mengenai dia dan berhenti di pinggir malam setelah perjalanan panjang mencari pembelaan kesalahan cinta.

Saya masih sedikit berkendara lagi dengan jarak yang hanya satu inci dari tangisan, rasa malu dan sentimentil cinta saya dan
saya pun menjadi seorang lelaki tua yang bingung mengemudi di tengah hujan, terus bertanya-tanya ke mana perginya keberuntungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun