Saya menoleh dan berdegup, memandang  selarik pakaian dalam biru yang sudah berada dalam genggamannya, seketika dia melempar benda itu ke jok belakang.
Aku akan berhenti disini! Tiba-tiba dia berkata keras.
Tunggu, saya akan menjelaskannya! Kata saya gugup sembari menekan pedal brake buat menepi, namun terlambat, dia lebih segera memutar tuas pintu dan melompat ke luar.
Saya turun dan mendekat. Maaf, ini tidak seperti yang kau  kira! Benda itu bukan milik siapa-siapa! Jelas saya.
Ya, tentu saja! Itu milik seekor kucing! Katanya meninggalkan saya dan berlari menyetop sebuah taksi.Â
Saya memandanginya bersama hilang taksinya sembari memegang kening kepala saya. Ah! Betul, saya membuat satu kesalahan! Hentak saya memukul kepala.
***
Dia pergi setelah itu dan saya tak melihatnya lagi semenjak itu. Dia tidak di tempatnya. Saya terus pergi ke sana dan meninggalkan catatan tertempel di pintu. Tapi ketika saya kembali dan catatannya masih ada.
Saya mengambil buku puisi saya dan sekuntum bunga lalu mengikatnya di pintu rumahnya, ketika saya kembali malam berikutnya semuanya masih ada.
Saya terus mencari di jalan-jalan yang pernah menyimpan jejaknya dengan kendaraan tua saya yang semakin sebal karena engsel pintunya selalu bermasalah.
Saya tidak menemukan sekeping udara pun mengenai dia dan berhenti di pinggir malam setelah perjalanan panjang mencari pembelaan kesalahan cinta.
Saya masih sedikit berkendara lagi dengan jarak yang hanya satu inci dari tangisan, rasa malu dan sentimentil cinta saya dan
saya pun menjadi seorang lelaki tua yang bingung mengemudi di tengah hujan, terus bertanya-tanya ke mana perginya keberuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H