Dia memandangku seperti tak percaya, tapi dia melempar sapunya juga.
***
Aku batal berpikir untuk sebuah taman yang kedaluwarsa untuk berjalan ke arah timur mencari matahari. Harusnya sepanjang tujuan dilumuri semerbak kopi, dan aku sudah menandai sejak dua tahun silam. Â Aku tau jalan kebun kopi karena begitu gampang, ikuti saja alur butir-butir kopi yang tergeletak di tanah, layaknya dongeng anak yang tersesat memberi tanda jejak, begitu penanam kopi itu menuliskan.
Tapi tidak seperti kali ini, tidak ada semilirpun aroma kopi, aku tak menemukan tujuan. Tidak ada asap kopi dari cerobong kedai, apalagi warna ekstrak hitam kopi, tidak ada suara penggiling, hanya sunyi. Aku mengetuk pintunya yang kusam seperti warna putus asa, tapi tak terjawab apa-apa.
Seorang pemuda terlihat tergesa, dia membawa 'backpack' yang besar. Aku mengejar dan menghentikannya.
Apakah kau tau kemana aroma kopi? Aku bertanya. Dia tersenyum pahit seperti kopi.
Aroma sudah terbawa ke timur, kawan! Jawabnya.
Hah! Bukankah ini timur? Aku bertanya lagi.
Itu dulu kawan! Sekarang telah menjadi barat! Tambahnya lebih pahit.
Lalu dia bergegas meninggalkanku sendiri di kebun ini, sementara mataku rabun memandang sekeliling kebun yang terlihat semuanya berwarna senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H