Perempuan itu menceritakan bahwa jika mawar merah tua dicelupkan ke dalam segelas susu akan berwarna merah jambu.
Sedang aku? Ingin mengisahkan kepadanya bahwa itu telah berkali-kali dan cerita itu takkan pernah terjadi karena keteguhan 'marun'. Â
Perempuan itu menanam dengan suka hati untuk bercerita sebaliknya tentang lara hati. Kebun bunganya merebakkan warna meluberi rerumputan hijau, sementara dia pulang untuk menulis di kebun mati.
Itulah kirmizi! Kataku seperti yang kumaksud tapi tak dimengertinya, bahwa ujung semua warna adalah warna senja.
Perempuan itu masih menghitungnya, sampai dia berhenti di kisah ke 1728.
Selamat tinggal, katanya. Aku akan mematikan lampu!
Lalu segala warna berjalan ke warna asalnya. Ku katakan tidak mengapa berjalan di dalam gelap asal hatimu terang!
Perempuan itu diam, sepertinya aku melihat luka ketika semakin dekat sampai, tepat di tumit, dia ditolak. Nasehat-nasehat lalu menjadi tertawaan.
Bukankah kebun ini sudah lama mati sedang kau begitu pengecut bila melepaskannya?
Perempuan itu berbicara kepada angin bahwa kebahagiaan yang diberikan orang-orang itu bukan penghiburan melainkan kesakitan.
Begitukah perempuan itu pergi? Seperti dikucilkan oleh orang yang dicintainya karena alasan yang paling tipis. Ini adalah kisah frustrasi yang tidak memberikan harapan cinta akan menang pada akhirnya.
Lalu aku pergi dengan penerangan seadanya, Â menyeberang hutan mati sementara aku masih bersikeras melihat tanaman mawar, meski akhirnya kulihat kau tak menangis lagi, tapi bunga-bunga tampak bersedih.
Apakah kau sedang menghiburnya? Tanyaku
Entahlah! Bunga menangis terus ketika mekarnya tak pernah di beritakan! Jawab perempuan itu.
Mereka lebih bersuka cita di tempat yang telah mati! Perempuan itu tersenyum.
Kami telah dilemparkan kembali dengan sisa tergila-gila hanya karena senyum yang terlewatkan atau kata tambahan.
Aku meniup uap ke udara, lalu meninggalkannya bersama taman bunganya.
***
Hari hujan, entah hari keberapa, aku masih menulis walaupun di dalam kebohongan. Aku mencoba menanam bunga untuk belajar hingga akhirnya dihargai untuk bisa masuk ke ruang bunga seperti lebah memilih dari kekasih bunganya yang banyak. Tapi halaman ini telah reyot membuat ku sebagai satu-satunya tampak seperti kumbang buluk.
Terlihat seorang tukang menyapu sampah, Â tapi dia terhenti kerna sampah tak pernah berhenti. Aku mendekatinya dan melamuninya.
Apakah yang kau lakukan? Aku menyapanya.
Menyapu sampah! Jawabnya.
Bisakah?
Penyapu itu menggelengkan kepalanya yang terkepung sampah, sementara aku menyerpihkan sampah-sampah di sekeliling telinganya, sambil membisikkan.
Kitalah sampah!
Dia memandangku seperti tak percaya, tapi dia melempar sapunya juga.
***
Aku batal berpikir untuk sebuah taman yang kedaluwarsa untuk berjalan ke arah timur mencari matahari. Harusnya sepanjang tujuan dilumuri semerbak kopi, dan aku sudah menandai sejak dua tahun silam. Â Aku tau jalan kebun kopi karena begitu gampang, ikuti saja alur butir-butir kopi yang tergeletak di tanah, layaknya dongeng anak yang tersesat memberi tanda jejak, begitu penanam kopi itu menuliskan.
Tapi tidak seperti kali ini, tidak ada semilirpun aroma kopi, aku tak menemukan tujuan. Tidak ada asap kopi dari cerobong kedai, apalagi warna ekstrak hitam kopi, tidak ada suara penggiling, hanya sunyi. Aku mengetuk pintunya yang kusam seperti warna putus asa, tapi tak terjawab apa-apa.
Seorang pemuda terlihat tergesa, dia membawa 'backpack' yang besar. Aku mengejar dan menghentikannya.
Apakah kau tau kemana aroma kopi? Aku bertanya. Dia tersenyum pahit seperti kopi.
Aroma sudah terbawa ke timur, kawan! Jawabnya.
Hah! Bukankah ini timur? Aku bertanya lagi.
Itu dulu kawan! Sekarang telah menjadi barat! Tambahnya lebih pahit.
Lalu dia bergegas meninggalkanku sendiri di kebun ini, sementara mataku rabun memandang sekeliling kebun yang terlihat semuanya berwarna senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H