Kamu pergi sehabis minum segelas susu, menghilang seperti pagi yang tidak kentara batasnya masuk ke dalam siang. Melangkah lembut membuka ruang kayu, katamu mau mengambil embun. Saya mengangguk dengan kopi di meja dan ipad di tangan. Beberapa pagi belakangan kebun selalu menyisakan embun  dan kamu mengabarkan sebelumnya akan memetiknya, takut keburu siang yang rakus menghirupnya.
 Hanya begitu saja. ketika siang menurunkan emas, kamu tak juga pulang, mungkin moisture yang membasahi gaun memaksamu duduk berlama di kursi taman lalu membiarkannya kering seperti biasa. Tapi kali ini tidak biasa, ada seperti kekurangan udara yang membikin saya tergopoh menyusulmu ke sudut taman.Â
Dan benar kamu tertidur tidak seperti biasanya. Saya duduk mendekat dan tahu bahwa mereka meninggalkan kamu begitu saja dengan cara kamu mengambil. Embun itu. Aku mengambil tanganmu dan merasakan dingin yang putus asa.
Bagaimana dia pergi? Tukas mama seperti tidak percaya.
Saya hanya berucap, bahwa pagi itu, dia pergi meninggalkan segelas susu dan saya di meja. Mama masih saja merasa mustahil, karena mertua ini selalu menilai saya sebagai lelaki yang nakal, gelandangan dan eksentrik, sedang putrinya adalah seorang seraphic. Â Aku sudah tidak peduli dengan turunan ocehan yang menyertainya, dan berusaha keras untuk menepis jika saya tidak merasa ditinggalkan.
Sore hari kami menguburkan tubuh kamu yang beku, ibu mertua menangis sedang aku tidak menangis, kecuali basah hujan yang turun. Beberapa mengucapkan rasa duka yang saya sambut dengan rasa yang aneh.Â
Apakah dia sakit? Dia masih begitu muda! Dan lain-lain.Â
Saya mendengar suara di perjalanan keluar tanah, namun saya hanya melihat keatas, memandang matahari yang akan segera terendam. Â Membelai tanah diatas kamu, sambil bergumam: Selamat tinggal dan tetap dingin! Kertas usapan embun telah dibawa untuk beristirahat.
Pulang ke rumah menjadi tidak sama lagi, yang sama adalah, saya kembali duduk di meja yang sama. Dari sebelah kopi yang sama, saya memandang separuh gelas susu yang tertinggal dan belum selesai beserta sejumput merah bibir di bibir gelasnya. Sekotak embun tua yang kamu kumpulkan yang saya ambil dari tanganmu tadi pagi, masih tergeletak di ujung meja. Saya pikir saya bisa menebaknya, ketika membuka kotaknya.Â
Ada bintik-bintik seperti kotoran  di permukaan embun seolah-olah cetakan tulisan kecil yang tersebar. Itu berita tentang hari yang saya lupakan jika saya pernah membacanya. Semacam ucapan selamat tinggal di tepi kegelapan.Â
Lalu saya pikir, besok saya tidak akan lagi mendapati embun yang mengganggu kebun, layaknya musim dingin yang tiba-tiba terpotong. Selanjutnya saya menutup kembali kotak embun itu dan membuang susu tapi membiarkan berkas merahnya di bibir gelas.
***
Empat puluh matahari saya lewati sendiri bersama meja dan ipad kerja, saat di kala pintu kayu depan diketuk sopan. Saya membuka pintu.
Selamat siang!
Selamat siang!
Ah, maaf! Saya tetangga sebelah yang baru!
Lalu kami bersalaman sementara lelaki itu berkali-kali mengucap maaf, yang saya pikir terlalu banyak. Karena saya tak mempersalahkannya walaupun dia merasa bahwa dia begitu terlambat memperkenalkan diri.
Tapi ngomong-ngomong, apakah kebun di rumah anda mengering? Pada akhirnya dia bertanya. Dan saya terkejut, menyadari bahwa selama ini saya tak pernah lagi berbisnis kebun. Saya menggeleng salah tingkah.
Maaf, saya kurang paham, sudah lama saya tak mengengok taman! Terang saya.
Tidak apa, saya hanya ingin memastikan. Kelihatannya semua kebun sekitar mengering! Timpal tetangga.
Baik saya berjanji akan memeriksanya! Saya menenangkannya.
Sepeninggal tetangga baru, tiba-tiba hati saya merasa sedih, teringat kembali tentang kepergian kamu dan embun, yang selama ini membuatku enggan untuk bertaman. Malas buat digigit kenangan yang luka, namun kabar kekeringan ini membuat saya serasa luruh sehabis diikat kehilangan.Â
Dorongan kali ini membuat saya membuka lagi laci lemari tempat sekotak embun milikmu yang saya simpan. Kembali meraihnya dan merabanya serasa dinginnya masih belum tersapu. Sayapun menguatkan maksud untuk sepagi mentari esok untuk mengunjungi kebun embun kamu.
Pagi saat matahari sibuk bersolek, saya sudah melangkah menuju kebun, menggenggam erat kotak embun silam kamu. Entah saya merasakan seperti demikian memerlukannya untuk menemani. Dan ketika kaki saya menginjak batas rumput kebun, ternyata yang dikatakan tetangga benar adanya. Kebun tampak kering dan rapuh, tak terlihat warna kecuali pucat dan grey, berbeda saat kamu masih ada, kebun berwarna hijau dan beraroma daun. Â
Saya melangkah perlahan mengelilinginya, tiada hijau daun dan kayu coklat yang berseri, segala mengering dan kebun terlihat begitu tua. Seketika saya merasa lelah walaupun pagi tampak belum lagi berjalan penuh. Saya mengambil kursi taman  dan duduk melepas segala renung akan dua kepergian, kamu dan kebun ini.Â
Mengenang bahwa, kamu pergi begitu muda dari kebun yang masih belia, seakan membuka kisah terputus, yang memerintahkan saya mengeluarkan kotak embun kamu di saku.  Saya menggenggamnya erat. Serta merta saya membuka nya, ada rasa sejuk  merayap keluar, lalu terlihat embun muncul perlahan, berjalan mengambang, yang semakin lama memenuhi taman. Â
Kemudian butiran embun mulai terlihat melapisi  dedaunan, rumput dan tunas. Saya merasakan kembali sejuk yang pernah pergi, tentang cerita embun yang kembali  pulang.  Saat itu juga  ingin rasanya saya berbaring, sebelum datang cahaya yang akan mengambil embun dengan rakusnya. Lalu saya melakukannya, merebahkan diri saya hingga jantung saya tenggelam lebih rendah dari tanah.
Dan saya merasa ada sesuatu yang harus diserahkan kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H