Lalu saya pikir, besok saya tidak akan lagi mendapati embun yang mengganggu kebun, layaknya musim dingin yang tiba-tiba terpotong. Selanjutnya saya menutup kembali kotak embun itu dan membuang susu tapi membiarkan berkas merahnya di bibir gelas.
***
Empat puluh matahari saya lewati sendiri bersama meja dan ipad kerja, saat di kala pintu kayu depan diketuk sopan. Saya membuka pintu.
Selamat siang!
Selamat siang!
Ah, maaf! Saya tetangga sebelah yang baru!
Lalu kami bersalaman sementara lelaki itu berkali-kali mengucap maaf, yang saya pikir terlalu banyak. Karena saya tak mempersalahkannya walaupun dia merasa bahwa dia begitu terlambat memperkenalkan diri.
Tapi ngomong-ngomong, apakah kebun di rumah anda mengering? Pada akhirnya dia bertanya. Dan saya terkejut, menyadari bahwa selama ini saya tak pernah lagi berbisnis kebun. Saya menggeleng salah tingkah.
Maaf, saya kurang paham, sudah lama saya tak mengengok taman! Terang saya.
Tidak apa, saya hanya ingin memastikan. Kelihatannya semua kebun sekitar mengering! Timpal tetangga.
Baik saya berjanji akan memeriksanya! Saya menenangkannya.
Sepeninggal tetangga baru, tiba-tiba hati saya merasa sedih, teringat kembali tentang kepergian kamu dan embun, yang selama ini membuatku enggan untuk bertaman. Malas buat digigit kenangan yang luka, namun kabar kekeringan ini membuat saya serasa luruh sehabis diikat kehilangan.Â
Dorongan kali ini membuat saya membuka lagi laci lemari tempat sekotak embun milikmu yang saya simpan. Kembali meraihnya dan merabanya serasa dinginnya masih belum tersapu. Sayapun menguatkan maksud untuk sepagi mentari esok untuk mengunjungi kebun embun kamu.