Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melepas Embun

20 Juli 2021   14:32 Diperbarui: 20 Juli 2021   14:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Kamu pergi sehabis minum segelas susu, menghilang seperti pagi yang tidak kentara batasnya masuk ke dalam siang. Melangkah lembut membuka ruang kayu, katamu mau mengambil embun. Saya mengangguk dengan kopi di meja dan ipad di tangan. Beberapa pagi belakangan kebun selalu menyisakan embun  dan kamu mengabarkan sebelumnya akan memetiknya, takut keburu siang yang rakus menghirupnya.

 Hanya begitu saja. ketika siang menurunkan emas, kamu tak juga pulang, mungkin moisture yang membasahi gaun memaksamu duduk berlama di kursi taman lalu membiarkannya kering seperti biasa. Tapi kali ini tidak biasa, ada seperti kekurangan udara yang membikin saya tergopoh menyusulmu ke sudut taman. 

Dan benar kamu tertidur tidak seperti biasanya. Saya duduk mendekat dan tahu bahwa mereka meninggalkan kamu begitu saja dengan cara kamu mengambil. Embun itu. Aku mengambil tanganmu dan merasakan dingin yang putus asa.

Bagaimana dia pergi? Tukas mama seperti tidak percaya.

Saya hanya berucap, bahwa pagi itu, dia pergi meninggalkan segelas susu dan saya di meja. Mama masih saja merasa mustahil, karena mertua ini selalu menilai saya sebagai lelaki yang nakal, gelandangan dan eksentrik, sedang putrinya adalah seorang seraphic.  Aku sudah tidak peduli dengan turunan ocehan yang menyertainya, dan berusaha keras untuk menepis jika saya tidak merasa ditinggalkan.

Sore hari kami menguburkan tubuh kamu yang beku, ibu mertua menangis sedang aku tidak menangis, kecuali basah hujan yang turun. Beberapa mengucapkan rasa duka yang saya sambut dengan rasa yang aneh. 

Apakah dia sakit? Dia masih begitu muda! Dan lain-lain. 

Saya mendengar suara di perjalanan keluar tanah, namun saya hanya melihat keatas, memandang matahari yang akan segera terendam.  Membelai tanah diatas kamu, sambil bergumam: Selamat tinggal dan tetap dingin! Kertas usapan embun telah dibawa untuk beristirahat.

Pulang ke rumah menjadi tidak sama lagi, yang sama adalah, saya kembali duduk di meja yang sama. Dari sebelah kopi yang sama, saya memandang separuh gelas susu yang tertinggal dan belum selesai beserta sejumput merah bibir di bibir gelasnya. Sekotak embun tua yang kamu kumpulkan yang saya ambil dari tanganmu tadi pagi, masih tergeletak di ujung meja. Saya pikir saya bisa menebaknya, ketika membuka kotaknya. 

Ada bintik-bintik seperti kotoran  di permukaan embun seolah-olah cetakan tulisan kecil yang tersebar. Itu berita tentang hari yang saya lupakan jika saya pernah membacanya. Semacam ucapan selamat tinggal di tepi kegelapan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun