Kok tanahnya terasa miring, yah? Keluh mereka dengan perasaan sama.
Kalo aku, merasa enggak rata. Perasaan kaya ada pulisi tidurnya! Kata sebagian lagi menambahkan.
Iya! Jadi enggak enak mainnya! Akhirnya mereka pun bersepakat.
Saya sendiri, sebagai kapten dari salah satu tim, hanya bisa mengiyakan, sambil menatap sisa-sisa kegiatan sehabis pemakaman dari kejauhan.
Seingat saya, semenjak peristiwa itu, permainan sepak bola kami selalu diliputi rasa was-was. Beberapa teman kerap kehilangan konsentrasi bermain. Sebentar-sebentar mereka menoleh ke belakang, ke balik bahu mereka, seakan-akan ada yang menguntitnya, ada seseorang yang menempelnya seperti musuh.Â
Makanya saya pun sebagai kapten, mengambil keputusan untuk menjauhkan tanah permainan kami  dari kuburan walaupun jarak pandang mata masih saja mencapai sekitar makam. Maklumlah tanah semakin sempit.
Paling tidak permainan bola kami bisa berlangsung tanpa tekanan yang terlalu besar akibat penguburan yang sesekali datang.Â
Namun seiring waktu kemudian, timbul rasa pada hati kami yang mudah menjadi baper, dan saya tidak bisa mengendalikan perasaan orang kan!
Bukan saja jika terjadi pemakaman, di tengah-tengah permainan, teman-teman bola sering pula menepi sesaat, ketika melihat orang-orang nyekar di kuburan. Â Saya lihat wajah teman-teman bola tampak sedih ketika memandang orang-orang nyekar berdoa dan menebar bunga tabur di kotak nisan.
Kenapa? Saya mendekati salah satu teman yang duduk menepi.
Sedih Kak! Sahutnya. Terlihat matanya basah dan tidak bisa melanjutkan ucapan.
Saya menatap orang-orang yang datang meletakkan bunga di kuburan dari jarak tanah bola kami. Terlihat samar wajah-wajah mereka menggantung dengan kesedihan. Dan saya pun mengalami rasa yang sama melihat gaung kematian lainnya di wajah-wajah mereka.
Hati saya seperti copot, Kak! Beberapa teman yang berhenti bermain berkomentar dengan nada khawatir.