Saya suka bermain bola, meski masa sekarang susah mencari kotak yang lapang untuk memainkan kulit bundar. Apalagi sedang demam piala Eropa, walaupun karut marut menonton di larut, saya pikir saya seperti tahu saja siapa kesebelasan favorit dan abang jagonya. Terutama kesebelasan favorit saya Italia dengan tiga penyerangnya yang hebat, Immobille, Insigne dan Chiesa. Â
Teman-teman sepermainan saya seperti kagum jika saya bercerita tentang kehebatan idola saya, mereka mematung takjub sambil menatap saya, kok bisa mengetahui hal yang tak terbayangkan oleh mereka.
Ah! Bagai dongeng yang memikat! Mereka memuji saya.
Kok, bisa yah? Sambung mereka lagi, seakan menanti cerita selanjutnya yang bakal mencengangkan mereka. Dan mereka selalu merindukan dongeng-dongeng saya tentang sepak bola apalagi dari luar negri.
Hampir saban sore kami berkumpul di pinggir tanah kuburan dan berbincang-bincang tentu saja tentang sepakbola, dari mulai formasi empat-tiga-tiga, nama-nama posisi pemain sampai idola pemain baik dalam dan luar negri.Â
Biasanya untuk referensi nama-nama pemain bola luar negri, teman-teman saya selalu menanyakan kepada saya. Dan saya sangat bangga bisa mendongeng kepada mereka  bahkan tentang pemain-pemain  bola jaman 'baheula', persis seperti guru sejarah sepakbola atau wartawan bola senior.
Pabila sinar mentari mulai meninggalkan batas siang dan panasnya minggat, kami pun mulai menyiapkan perlengkapan lapangan. Membuat dua tumpukan sandal berjarak tigameter sebagai gawang dan membelah kelompok menjadi dua grup dengan memilih teman yang dianggap jago dengan cara hompimpah.Â
Saya juga mengecek kondisi bola plastik yang digunakan, apakah masih dalam kondisi baik atau sudah bolong. Setelah 'all set' kami tos untuk kelompok siapa yang terlebih dulu menendang bola untuk memulai permainan.
Permainan bola kami seru dan mengasyikan meskipun permainan bola ini berlangsung tepat di sisi kuburan, kami tak begitu menghiraukan. Â
Kecuali bila tiba-tiba ada upacara penguburan, serta merta permainan bola berhenti. Saya memberi aba-aba untuk bubar dan berkemas untuk segera pulang.Â
Sebenarnya dulu tidak begitu, kami hanya 'break',berhenti sebentar hingga penguburan berlalu, kemudian kami melanjutkan permainan. Namun sekarang, kami tidak memiliki perasaan yang sama lagi bila ada pemakaman. Permainan bola kami jadi ngawur sampai akhirnya berhenti bukan karena kelelahan, melainkan karena kami kehilangan gairah.
Kok tanahnya terasa miring, yah? Keluh mereka dengan perasaan sama.
Kalo aku, merasa enggak rata. Perasaan kaya ada pulisi tidurnya! Kata sebagian lagi menambahkan.
Iya! Jadi enggak enak mainnya! Akhirnya mereka pun bersepakat.
Saya sendiri, sebagai kapten dari salah satu tim, hanya bisa mengiyakan, sambil menatap sisa-sisa kegiatan sehabis pemakaman dari kejauhan.
Seingat saya, semenjak peristiwa itu, permainan sepak bola kami selalu diliputi rasa was-was. Beberapa teman kerap kehilangan konsentrasi bermain. Sebentar-sebentar mereka menoleh ke belakang, ke balik bahu mereka, seakan-akan ada yang menguntitnya, ada seseorang yang menempelnya seperti musuh.Â
Makanya saya pun sebagai kapten, mengambil keputusan untuk menjauhkan tanah permainan kami  dari kuburan walaupun jarak pandang mata masih saja mencapai sekitar makam. Maklumlah tanah semakin sempit.
Paling tidak permainan bola kami bisa berlangsung tanpa tekanan yang terlalu besar akibat penguburan yang sesekali datang.Â
Namun seiring waktu kemudian, timbul rasa pada hati kami yang mudah menjadi baper, dan saya tidak bisa mengendalikan perasaan orang kan!
Bukan saja jika terjadi pemakaman, di tengah-tengah permainan, teman-teman bola sering pula menepi sesaat, ketika melihat orang-orang nyekar di kuburan. Â Saya lihat wajah teman-teman bola tampak sedih ketika memandang orang-orang nyekar berdoa dan menebar bunga tabur di kotak nisan.
Kenapa? Saya mendekati salah satu teman yang duduk menepi.
Sedih Kak! Sahutnya. Terlihat matanya basah dan tidak bisa melanjutkan ucapan.
Saya menatap orang-orang yang datang meletakkan bunga di kuburan dari jarak tanah bola kami. Terlihat samar wajah-wajah mereka menggantung dengan kesedihan. Dan saya pun mengalami rasa yang sama melihat gaung kematian lainnya di wajah-wajah mereka.
Hati saya seperti copot, Kak! Beberapa teman yang berhenti bermain berkomentar dengan nada khawatir.
Sudah saja! Kita akhiri permainan! Kata saya memerintah dengan sedih yang mendalam, betapa ditengah permainan cantik sepakbola, kami dihadapkan pada kehancuran permainan.
Dalam selang waktu selanjutnya, kami mulai jarang memainkan sepakbola indah kami di tepi kuburan, karena  tanah bermain kami makin tidak rata dan miring.
Tak heran, karena begitu banyak penguburan yang terjadi akhir-akhir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H