Saksikanlah sirkus pamungkas! Katanya persis seperti ucapan di show bapaknya dulu. Penonton masih menahan bokong untuk tak berlalu. Sarpin membungkuk, melengkung, dan berdiri diatas kepalanya berdiri terbalik. Dia pun meregangkan kedua lengannya, berharap penghargaan.
Kembali saja ke tempat tidurmu! Begitu komentar pedas dari wajah bosan penonton yang terlihat lebih buruk dari posisi tubuhnya yang terbalik. Lalu anak-anak berlarian meninggalkan, emak-emak bangkit dari duduknya dengan mata mengantuk.
Hei! Tunggu! Lihat aku memakan dasiku! Teriak Sarpin. Namun suaranya hanya ditelan lapangan sepi. Sarpin menunduk, matanya menyentuh tanah. Tak ada uang terlempar. Sama sekali.Â
Badut Sarpin mengusap keringatnya dan menengadah ke langit. Bahwa sudah selama ini dia tidak bisa menghasilkan uang hanya karena tidak selucu bapaknya. Ada genangan di kelopak bawah matanya yang bergincu hitam.
Hari mendung seakan membawa suasana untuk badut pulang kedalam kehidupan nyata. Tapi bagi Sarpin kenyataan dan mimpi adalah serupa. Sama-sama menyedihkan.Â
Inilah satu-satunya warisan bapak yang hanya dimengerti, tak ada lain. Kehidupan itu badut saja. kata bapaknya sederhana. Dan Sarpin kecil memendamnya semenjak kecil, semenjak kepergian ibunya yang dirasakan lebih cepat dari waktunya.Â
Sarpin menggapai rumah gubuknya dan meminum air putih, satu-satunya yang ada di meja reotnya. Dia melepas sepatu lucu dan baju badutnya. Membasuh riasan vulgar di wajahnya, lalu duduk melamun di dipan kusamnya. Rasa masygul dan kemarahan hati mengalir di tubuh kerempengnya, menangisi ketidak lucuannya.
Mulai besok aku akan memberi tahu kota ini! Bagaimana rasanya menjadi badut yang tidak lucu! Lalu dia menulis di kertas tentang kesedihan dan keburukan hingga berlembar. Kelelahan dan tertidur. Hingga pagi menyela tidur lelahnya, Sarpin harus bersiap menyusur jalan kota pinggiran.Â
Semua perangkat utama telah dipakainya berikut perniknya dan karung lusuh properti. Sarpin melangkah keluar pintu dengan hati berat untuk mengungkap niat. Kertas tulisan semalam digenggam erat, lalu dia menjelang udara yang masih bersih.
Tiba di lapangan yang biasa tampak bertebar anak-anak bermain dan emak-emak menjaga. Mereka tampak segan untuk menolehnya. Sarpin mengeluarkan bunyi-bunyian baterai dan membesarkan volumenya, membuat para pelanggan segan namun mendekat.
Aku akan memberitahu kalian semua! Mengapa badut terlihat sedih? Mengapa badut terlihat buruk? Â Sarpin melirik ke penonton yang mulai berkerumun ingin tahu. Lalu dia meneruskan sambil membaca tulisan hati semalam.