Sudah berjalan dua pekan ini matahari tidak pernah terang. Fajar yang dinaikkan berwarna pucat yang pada akhirnya terbenam ke dalam barat dengan warna kusam serupa. Rumah Boim juga jadi seperti barang rongsokan, perabotan-perabotan emas meredup tidak lagi tampak sentuhan Midas.
"Apakah sihir sudah memudar?" Boim bertanya kepada mentari pulang.
" Sihir tidak memiliki silsilah" Matahari berbisik ketika bersinggungan dengan awan.
Bos Boim melihat ke udara pasi, seperti melihat pelayat.
"Berapakah umurmu sihir?" Â Boim bertanya, tangannya ada di saku celana. Tapi matahari keburu dipanggil barat untuk segera merunduk lebih rendah dari cakrawala. Bos Boim berlari mengejar, tubuh tambunnya bergetar menuntut jawaban. Matahari sudah tak berwenang kerna kerajaan sudah jatuh diperintah malam. Mungkin dalam mimpi nanti akan dikatakan bahwa umur sihir tidak pernah ada, kerna sihir sudah ada sedini nafas.
Bos Boim melangkah masuk kedalam rumah yang besar yang tak terlihat megah dimatanya, menjumpai istrinya dan anaknya. Anaknya masih mungil merengek minta digendong, sedang istrinya memandang wajahnya.
Boim berlaku layaknya bapak sehari-hari tanpa perubahan apa-apa, dia tidak mau istri anaknya kuatir, dia tak ingin memberitahu bahwa  telah terjadi perubahan pada pandangan kedua matanya yang melihat segalanya kusam. Boim mengerti hanya dia seorang yang mengalami anomali dunia pucat, sedang bini dan anaknya bermata normal. Â
"Besok papa mau ke pegadaian" kata Boim. Istrinya kaget kerna uang hasil konten mereka termasuk bayinya sudah terkumpul puluhan milyar belum terhitung endorse.Bagaimana mungkin.
"Papa punya kredit macet?" istri cantiknya bertanya kuatir. Boim menggeleng.
"Serius?" Boim mengangguk lalu masuk ke kamar tidur.
Di dalam tidurnya Boim bermimpi kedatangan banyak pelayat.
"Ada apa?" Boim bertanya penuh duga.
"Mengantar sihir" jawab mereka kompak.
Boim tergagap bangun ketika diguncang istrinya. "Mimpi apa sih bos?" ledek istrinya. Bos diam tak menjawab. Dia langsung mandi dan gosok gigi lalu berdandan bersiap pergi ke rumah gadai. Dalam cahaya pucat supir Boim melaju tunggangan mewahnya. "Hari cerah ini, Bos" . Boim tidak menggubris, matanya hanya melihat jalan raya yang berwarna pudar.
Saat pagebluk begini rumah gadai padat, orang orang antre dengan protokol jaga jarak, cuci tangan dan jangan lupa pakai masker. Boim mengikuti rangkai barisan, dia mesti sabar. Beberapa orang mulai curiga memandangnya seperti pernah mengenalnya tapi dimana. Bos Boim membuat kamuflase seperti biasanya, memakai baju sederhana dan topi gombrong hampir menutupi seluruh jidatnya. Aman terkendali.
Sampai di urutan, Â nomor antrean Bos Boim pun disebut.
"Surat gadainya pak?" Nonik petugas memohon. Boim sedikit bingung untuk menjelaskan.
"Tidak ada Mbak, nganu.."
"Bapak ingat nomor suratnya barangkali?"
"Bukan begitu Mbak. Sebenarnya masalah nya, saya mulai melihat segalanya pucat, seperti menua apa..." Boim ragu-ragu.
"Tidak apa-apa, silakan terus pak.."
"Mbak tahu Karunia?"
"Iya tahu.. silakan lanjutkan.."
"Sepertinya saya sudah menghilangkannya.." ucap Boim berbisik. Nonik pegadaian itu menatap tajam. Matanya indah seperti malaikat, membuat Bos Boim berdegup. Nonik mengambil buku khusus dan memeriksa.
"Ini soal serius bapak Boim. Silakan anda memutuskan sendiri" cetus nonik itu tegas.
Boim tertunduk "Apakah saya bisa memperpanjang waktu gadai?" Bos Boim mencoba nego.
Nonik pegadai itu menggeleng. "Bapak sudah melihat segala menjadi pucat. Tidak ada guna kami mengeluarkan eksten surat gadai".
Bos Boim pasrah, ketika perempuan pegadaian berwajah malaikat itu mengambil surga dari lemari gadai, menimbang dan menaksir ternyata nilainya sudah jatuh dibandingkan dengan bumi yang pernah diberikan kepadanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H