Hari mendung sekejap pun hujan. Aku meraba kening yang lembab kerna uap udara yang sebentar lagi mencair. Bergegas melangkah masuk stasiun dan duduk menunggu kereta berikut yang akan merapat.Â
Ruang tidak terlampau ramai sehingga ku punya ruang selain waktu, buat membuka buku yang baru saja ku temukan. Sebuah novel bergambar bayangan perempuan berjudul 'Berdamai dengan Kasihan', pengarangnya bernama Ismawati. Â
Sebuah nama yang pernah sangat lekat dengan hidupku, namun ku amat yakin yang kumaksud bukanlah dia yang bukan seorang penulis.
Aku membalik sampul belakang yang berisi  bacaan sinopsis soal lelaki yang banyak membuat kesalahan dan mencoba keras berdamai dengan rasa malu. Â
Ketika kubuka halaman demi halaman, aku membaca kalimatnya seperti kalimat kusendiri, terus menerus meninjaunya dengan mataku untuk melihat bahwa aku tidak membuat kesalahan.Â
Padahal buku itu menunjuk segala kesalahan yang tidak bisa aku terima. Belum sampai dua belas lembar halaman aku sudah menutupnya dan mulai berpikir bahwa novel itu persis dengan kehidupanku.Â
Seakan pengarangnya mengenalku dekat, membuatku penasaran untuk menelusuri lembar biografi pengarang tapi tak kujumpa. Hanya sebuah nama saja Ismawati. Â Ketika ku tanyakan kepada seorang gadis di samping tempat ku duduk, dia menggeleng.
"Apakah kau mengenal nama Ismawati pengarang buku ini?" aku memperlihatkannya. Perempuan itu menggeleng meyakinkan. Â Lalu aku bangkit mencari perempuan lain yang ku tebak seorang pembaca novel.
 "Apakah engkau mengenal dia?" Perempuan kedua itu menggeleng. Lalu aku menyimpan buku itu kedalam tas dan berjalan menyongsong keretaku yang sudah berisik. "Kupikir pengarang bernama Ismawati ini bukan penulis ternama" pikirku yang masih tersandera, sementara laju kereta sudah membawa tujuan.
Setiba di rumah aku melanjutkan novel temuan itu. Membaca halaman seterusnya yang mulai memasuki cerita tentang seorang perempuan yang ditinggal lelakinya tanpa sebab.Â
Jalinan paragraf kata yang ditulis sederhana dan 'makjleb', seperti ditujukan kepada diriku sendiri dengan kisah yang sama persis dengan kisahku. Membuatku ogah untuk meneruskan.Â