Bermula dari batang tenggorok yang gatal yang tak mungkin digaruk, hanya satu cara yaitu batuk. Saya memulainya dengan batuk pelan atau berdehem dan ternyata bisa melegakan. Namun tidak memakan waktu lama, gatal itu menembus lagi, malahan lebih tajam.Â
Coba lagi usaha berdehem sekali, belum terlampaui, dua kali, tiga kali, dan gatal itu sirna juga. Was-was hati kembali menemukan kenyataannya, segera gatal itu menyerang kembali. Terpaksa saya keluarkan jurus sedikit radikal, yaitu batuk tanpa basa-basi berdehem lagi.Â
"Hoohook!". Manjur. Sekali gebrak gatal lenyap, namun  saya tak hendak tertipu, lalu pasang penghalang gatal yaitu dengan mengemut permen pedes.Â
"Biar tauk rasa dia!" Saya menggerutu, seakan rasa menang. Agak lama mereda memang, kalah dia. Lalu kembali saya lanjut menulis cerpen ini, namun belum separuh jalan, samar samar gatal muncul kembali, menggelitik seperti serbuan awal.Â
"Hoohoook! Hoohoook!" Dua kali saya melemparkan batuk, hingga tanpa sadar potongan permen dari mulut ikut terpental ke lantai. Namun kali ini tampak mulai bandel, gatal di kerongkongan menjelma lebih kronis. Memaksa saya memanjangkan leher, mengeluarkan batuk bertubi-tubi, sehingga riak kental menggeliat lewat jalan "faring" terasa mengalir keluar. Terhuyung tubuh saya meraih tisu guna menampung limbah ingus ini.
"Minum air anget, Yaaang.." istri saya berteriak dari dalam kamar , dia sedang tergoler, asyik menonton sinetron yang saban hari membuat ibu-ibu gemas, ketawa dan menangis saat-saat jam nobar.Â
"Baik, Mam.." saya menjawab patuh sambil mengucurkan air panas dari dispenser dan meneguk perlahan. Dan betul! Cespleng nasihat istri saya, ternyata saluran napas saya plong sehabis diguyur air hangat. Mencoba kembali duduk menulis, namun "mood" di dalam kepala sudah ngedrop, sehingga saya liren, surut sebentar, untuk mengambil jeda menulis, meskipun dada masih membara kencang untuk menulis, karena saya memang bercita-cita ingin menjadi "the best kompasianer of the year".
Saya pun melongok istri saya yang wajah ayunya mantul di terangi cahaya televisi. Saya tak hendak mengusiknya, hanya berjalan menuju beranda untuk menikmati awan pasca senja yang sudah menghitam. Dan memang senja sudah terlepas jauh, sekarang tidak ada apa apa di langit, cuma kelam yang meraba-raba malam. Tiada bulan, juga bintang yang menyembul, karena sekarang musim mendungnya mega. Tidak ada apa-apa hanya udara malam.Â
Jauh memandang tanah ladang kami di depan rumah, lamat-lamat saya merasakan tenggorokan masih menyekat meski rasa gatal telah menyurut. Mencoba menarik napas  untuk mengonsumsi udara maksimal ke dalam paru-paru, namun seperti ada rasa mengganjal.Â
Saya mencoba duduk rileks selonjoran meresapkan sejuknya malam yang masih muda, namun terasa malah badan saya berkeringat dan saya pikir saya sedikit demam, kemrengseng. Kembali melangkah masuk.Â
"Kok, saya demam, Mam?" saya melapor lewat depan pintu kamarnya yang ternganga.Â
"Minum parasetamol, Yaang.." dia menjawab masih tiduran di depan kaca tivi.Â
"Baik, Mam". Saya mengambil kotak obat dan menelan parasetamol, lalu masuk ke dalam kamar dan nimbrung nonton sinetron yang sedang digandrungi. Istri saya hanya diam konsen di adegan yang kebetulan menguras perasaannya.Â
"Seperti filem India ya, Mam.." saya berkata pelan kerna kepala saya mendadak pusing. Istri saya tak mendengar, mungkinkarena ini adegan pamungkasnya. Dan saya kira selanjutnya saya jatuh tertidur.Â
"Yang, Yaang, bangun. Badan kamu kok panas!" saya merasakan tangan istri saya mengusap jidat saya.Â
"Lemes juga nih, Mam.." balas saya.Â
"Makan malam dulu aja, terus tidur cepat. Yuuk.." dia menggeret saya duduk ke meja makan.Â
"Kok makanannya enggak rasa ya Mam?.." Saya protes.Â
"Coba dibauin, Yaang.." balasnya. Lalu hidung saya julurkan  hampir menyentuh masakan.Â
"Nggak bau sama sekali, Mam?"Â
"Wahduh?! Jangan jangan kokpit, Yaang.."
"Covid, Mam" Saya merevisi. Nampak wajahnya sedikit kawatir, namun dengan tangkas dia memaksa saya untuk tetap menelan makanan dan setelahnya menggandeng saya ke pelaminan. Tak urung pula dia memakaikan saya dan dirinya masker sebagai prevensi.Â
"Besok kita ke puskesmas, Yaang.." Saya tak menjawab karena tubuh saya mulai terasa pegal linu dan mencoba memejam.
Sehabis pagi merekah, kami menuju puskesmas dan dokter menyilakan saya di swab antigen, karena gejala khas ini. Tak lama hasil menyatakan saya positif. Dan dokter pun menyarankan istri saya di swab serupa, namun beruntung hasilnya negatif. Lalu saya pun dirawat isolasi.
 "Tak perlu kuatir, Mam. Saya pasti bisa melewatinya" Hibur saya kepada istri yang prihatin.Â
"Tapi bagaimana dengan ladang kita ya Mam?" Saya masih memikirkan ladang sayur saya, yang bakal terlantar.Â
"Hush.. enggak usah dipikirin!" istri saya menukas. Memang beberapa tahun sehabis pensiun saya melakukan usaha tani, yang ternyata bukan saja menghasilkan namun juga melatih tubuh saya dengan udara alam nan segar menjadikan saya akrab dengan paru paru dan pernafasan.Â
Di samping itu pula ada beberapa kolam ikan penambah usaha, dimana saya kerap nyemplung ke dalam kolam, sehingga ikut melatih kadar oksigen di paru-paru saya, mungkin.
"Mamam di rumah saja isolasi mandiri, jangan lupa lima em ya" bisik saya ke telinga indahnya. Dan dia mengangguk dengan mata binar berkaca. Melepas saya sendiri ke dalam perawatan. Hari hari awal memang meresahkan, namun saya harus optimis.Â
"Enggak ada sesak pak?" dokter menanyakan.Â
"Tidak dok" saya menggeleng.Â
"Ini gejala ringan saja pak. Tetap semangat!" sang dokter memberi spirit yang menggugah saya untuk cepat mengejar pulih, mengalahkan Covid ini. Dan pada hari ketiga saya sudah enak tidur, walupun masih merasakan gejala, namun tetap waspada, kerna kabar terakhir positif Covid meningkat tajam.Â
Menimbang gejala adanya sesak nafas pada gejala lanjutan, tiba-tiba saja seperti refleks, saya mencoba menahan nafas seperti berpura-pura mati. Â Sangat terasakan bahwa ternyata memang berat menjalankan gerak paru-paru ketika kita keluar dari udara. Bahwa dalam kehidupan, nafas kita bekerja keras terus menerus untuk menggerakkan 'bellow' paru-paru.Â
Beruntung dengan bekerja ladang dan tani, saya terlatih mengelola nafas, sehingga saya merasa terlatih untuk merasakan mati rasa. Dan saya bisa melakukan trik atau pantomim seakan paru-paru saya diam atau mati, dengan maksud tujuan untuk menipu virus pergi tau mati mengikuti 'kematian' paru-paru.
Dan saya melakukannya dengan baik kerna terlatih bekerja sederhana dengan alam di ladang dan di kolam ikan, dengan menahan nafas, saya bisa menurunkan level paru-paru saya rata seakan dia mati tak bergerak sehingga menipu virus untuk mati bunuh diri.
"Saya berhasil!!" saya berteriak kegirangan. Namun segera terjaga. Kiranya saya hanya bermimpi. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H