"Besok kita ke puskesmas, Yaang.." Saya tak menjawab karena tubuh saya mulai terasa pegal linu dan mencoba memejam.
Sehabis pagi merekah, kami menuju puskesmas dan dokter menyilakan saya di swab antigen, karena gejala khas ini. Tak lama hasil menyatakan saya positif. Dan dokter pun menyarankan istri saya di swab serupa, namun beruntung hasilnya negatif. Lalu saya pun dirawat isolasi.
 "Tak perlu kuatir, Mam. Saya pasti bisa melewatinya" Hibur saya kepada istri yang prihatin.Â
"Tapi bagaimana dengan ladang kita ya Mam?" Saya masih memikirkan ladang sayur saya, yang bakal terlantar.Â
"Hush.. enggak usah dipikirin!" istri saya menukas. Memang beberapa tahun sehabis pensiun saya melakukan usaha tani, yang ternyata bukan saja menghasilkan namun juga melatih tubuh saya dengan udara alam nan segar menjadikan saya akrab dengan paru paru dan pernafasan.Â
Di samping itu pula ada beberapa kolam ikan penambah usaha, dimana saya kerap nyemplung ke dalam kolam, sehingga ikut melatih kadar oksigen di paru-paru saya, mungkin.
"Mamam di rumah saja isolasi mandiri, jangan lupa lima em ya" bisik saya ke telinga indahnya. Dan dia mengangguk dengan mata binar berkaca. Melepas saya sendiri ke dalam perawatan. Hari hari awal memang meresahkan, namun saya harus optimis.Â
"Enggak ada sesak pak?" dokter menanyakan.Â
"Tidak dok" saya menggeleng.Â
"Ini gejala ringan saja pak. Tetap semangat!" sang dokter memberi spirit yang menggugah saya untuk cepat mengejar pulih, mengalahkan Covid ini. Dan pada hari ketiga saya sudah enak tidur, walupun masih merasakan gejala, namun tetap waspada, kerna kabar terakhir positif Covid meningkat tajam.Â
Menimbang gejala adanya sesak nafas pada gejala lanjutan, tiba-tiba saja seperti refleks, saya mencoba menahan nafas seperti berpura-pura mati. Â Sangat terasakan bahwa ternyata memang berat menjalankan gerak paru-paru ketika kita keluar dari udara. Bahwa dalam kehidupan, nafas kita bekerja keras terus menerus untuk menggerakkan 'bellow' paru-paru.Â