Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nafas Ladang

27 Januari 2021   07:35 Diperbarui: 27 Januari 2021   07:55 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula dari batang tenggorok yang gatal yang tak mungkin digaruk, hanya satu cara yaitu batuk. Saya memulainya dengan batuk pelan atau berdehem dan ternyata bisa melegakan. Namun tidak memakan waktu lama, gatal itu menembus lagi, malahan lebih tajam. 

Coba lagi usaha berdehem sekali, belum terlampaui, dua kali, tiga kali, dan gatal itu sirna juga. Was-was hati kembali menemukan kenyataannya, segera gatal itu menyerang kembali. Terpaksa saya keluarkan jurus sedikit radikal, yaitu batuk tanpa basa-basi berdehem lagi. 

"Hoohook!". Manjur. Sekali gebrak gatal lenyap, namun  saya tak hendak tertipu, lalu pasang penghalang gatal yaitu dengan mengemut permen pedes. 

"Biar tauk rasa dia!" Saya menggerutu, seakan rasa menang. Agak lama mereda memang, kalah dia. Lalu kembali saya lanjut menulis cerpen ini, namun belum separuh jalan, samar samar gatal muncul kembali, menggelitik seperti serbuan awal. 

"Hoohoook! Hoohoook!" Dua kali saya melemparkan batuk, hingga tanpa sadar potongan permen dari mulut ikut terpental ke lantai. Namun kali ini tampak mulai bandel, gatal di kerongkongan menjelma lebih kronis. Memaksa saya memanjangkan leher, mengeluarkan batuk bertubi-tubi, sehingga riak kental menggeliat lewat jalan "faring" terasa mengalir keluar. Terhuyung tubuh saya meraih tisu guna menampung limbah ingus ini.

"Minum air anget, Yaaang.." istri saya berteriak dari dalam kamar , dia sedang tergoler, asyik menonton sinetron yang saban hari membuat ibu-ibu gemas, ketawa dan menangis saat-saat jam nobar. 

"Baik, Mam.." saya menjawab patuh sambil mengucurkan air panas dari dispenser dan meneguk perlahan. Dan betul! Cespleng nasihat istri saya, ternyata saluran napas saya plong sehabis diguyur air hangat. Mencoba kembali duduk menulis, namun "mood" di dalam kepala sudah ngedrop, sehingga saya liren, surut sebentar, untuk mengambil jeda menulis, meskipun dada masih membara kencang untuk menulis, karena saya memang bercita-cita ingin menjadi "the best kompasianer of the year".

Saya pun melongok istri saya yang wajah ayunya mantul di terangi cahaya televisi. Saya tak hendak mengusiknya, hanya berjalan menuju beranda untuk menikmati awan pasca senja yang sudah menghitam. Dan memang senja sudah terlepas jauh, sekarang tidak ada apa apa di langit, cuma kelam yang meraba-raba malam. Tiada bulan, juga bintang yang menyembul, karena sekarang musim mendungnya mega. Tidak ada apa-apa hanya udara malam. 

Jauh memandang tanah ladang kami di depan rumah, lamat-lamat saya merasakan tenggorokan masih menyekat meski rasa gatal telah menyurut. Mencoba menarik napas  untuk mengonsumsi udara maksimal ke dalam paru-paru, namun seperti ada rasa mengganjal. 

Saya mencoba duduk rileks selonjoran meresapkan sejuknya malam yang masih muda, namun terasa malah badan saya berkeringat dan saya pikir saya sedikit demam, kemrengseng. Kembali melangkah masuk. 

"Kok, saya demam, Mam?" saya melapor lewat depan pintu kamarnya yang ternganga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun