Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perias Wajah Akhir

7 September 2019   11:01 Diperbarui: 7 September 2019   11:16 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa bendera kertas rona kuning pun, sekeliling tetangga bakal serta merta menangkap aura rumah yang sedang mengarungi duka kematian. Dan parsial jalan perumahan memulai barikad, pula  dideretkan kursi kursi dibawah tenda pelindung dari violet ultra mentari. 

Sementara  tetangga berbaur kerabat,  bergilir memberikan simpati pelayatan, kemudian mengambil posisi duduk berderet  bersebelahan dengan kesepian pembicaraan.  

"Kabarnya serangan jantung" salah satu kerabat anumerta menyahut pelan atas kata tanya seorang pelayat, yang melulu manggut manggut disampingnya .

"Iya istrinya" kembali kerabat sama menjawab pelayat disisi sebelah lainnya, mungkin dia merupakan warga baru di lingkungan yang sedang kelabu ini.

Tetangga atau handai yang mengenal almarhumah ibu Rita bisa dipastikan terkejut atas kepulangan akhir ini, bagaimana tidak almarhumah  belum tergolong  tua mengingat usianya dibawah angka lima puluh tahun. Namun begitulah umur memang ada pemilikNya.

Menerawang kedalam ruang rumah duka yang duka, pasti saja mesti diseling aktivitas enggak semata atmosfir sungkawa. Kegiatan sembahyang, dan persiapan perjalanan tanah tertampak berlalu lalang mengisi kepergian mendiang ibu Rita.

Melengkapi kesudahan memandikan jasad adalah periasan wajah guna memperoleh  kepantasan atau barangkali kecantikan akhir untuk  menjelang ke dinding kotak bawah tanah sebagai rumah baru  Pula di isyaratkan bahwa riasan diri selain kenangan paras ujung yang ditinggalkan,  juga bsa saja sebagai pengenalan wajah menghadapi tatakrama dikomunitas baru bernama kuburan.

Memang adalah satu prakarya duka tersulit, ada pada periasan ini, yang dimana mana dandan atau make up setelah kematian tentu saja berbeda dengan riasan wajah berkehidupan, bukan saja mensyaratkan ketrampilan jemari perias tapi juga kerja rasa hati guna menemukan tingkat kesamaan. Tapi bisakah riasan paras selagi kehidupan bakal serupa dengan setelah kematian?

Ibu Ine perias jenasah didampingi asiten telah pula kunjung, tergopoh memasuki ruang tidur kematian, tangan berpengalamannya lincah menyisih setiap pernik make up. Sembari mata lancipnya menyusur lapisan kulit wajah mendiang, seakan membaca teliti setiap lipatan kerut bak membaca biografi. 

Ibu Ine ada mengenal meski tak lekat dengan Rita almarhumah, ada semacam beban dikalbunya untuk mempersolek seindah keahliannya, suatu riasan keren guna menyenangkan  rasa yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Meskipun disepanjang  jejak pengalaman soleknya dia tak pernah satu kali pun merasakan kepuasan merias pasca kematian.  

Demikian sulit lah, tanpa melihat  dengan seksama garis garis lipatan perjalanan yang tercetak diwajah penidur fana, seseorang perias mayat bakal mendapatkan karyanya bisa jadi memangling bahkan mengerikan.

Ya itulah, seorang perias mayat asli, notabene juga seorang  yang pembaca kerut wajah, seorang pengamat pipi yang menulis memoir. Bukankah kedua pipi kita juga adalah pencatat riwayat hidup?

"Monggo dipersilahkan mulai"  adik sekandung almarhumah menyilakan perias baya itu bekerja. Ibu Ine pun segera memoleskan pelembab dan jemari mulai merabakan setiap puncak dan lembah dari lipatan di kulit wajah pasiennya. Sedikit tempo, kedua telapaknya memoles halus, yang sekejap berhenti dilipatan karena tertahan kalbu. Beberapa titik kerut pun di tandai didalam hati, sebelum dia melanjurkan tahap riasan sebenarnya. 

Dari mulai pelapis tipis dasar, bedak halus dan pemerah pipi lembut samar diusapnya dengan bernas.  Bayang kelopak mata disapukan berlapis merata, hingga berakhir pada  pekerjaan memulas bibir, yang menegas namun tidak terlalu jreng. Tahap substansi rias pun rampung, tinggal finishing yang merupakan tahap akhir penentuan. 

Perias Ine menekun lama, menatap wajah olahannya, dan itu dirasa datang lagi, ada semacam  kegundahan dan ketakterimaan didalam dada wanita baya ini. Namun dipaksakannya bekerja kembali mengakhiri tahap finishing riasan hingga gerak tangannya berhenti tanda selesai.

"Selesai mbak?" adik sekandung almarhumah mendekati sembari menatap kakak tersayang. Serta merta wajahnya terkaget, sambil menjamah pundak perias yang juga termangu. 

Keduanya memandang hasil riasan wajah dihadapannya begitu terlihat  hampa dan menderita. Tidak sedikitpun mencerminkan pelepasan bahagia dan kerelaan kepada kerabat yang ditinggalkan.

Ibu Ine sang perias memalingkan pandang ke perempuan yang ditinggalkan itu, dia tercenung , tak pernah alami sepelik apapun di seperjalanan riasnya terhadap wajah beku seperti ini. Seburuk yang dimengerti, garis lipatan wajah penyintas baka, selalu saja mikul duwur mendem jero guna membantu mendapatkan rias akhir yang menyenangkan semua.

"Garis garisnya begitu rumit, say" sapa sang perias lirih. "Apalah gerangan terjadi?" sambungnya.

Adinda mendiang yang terduduk disisinya, terlihat membasah matanya, tanpa sadar bibirnya berbisik.

"Suaminya selingkuh.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun