Tanpa bendera kertas rona kuning pun, sekeliling tetangga bakal serta merta menangkap aura rumah yang sedang mengarungi duka kematian. Dan parsial jalan perumahan memulai barikad, pula  dideretkan kursi kursi dibawah tenda pelindung dari violet ultra mentari.Â
Sementara  tetangga berbaur kerabat,  bergilir memberikan simpati pelayatan, kemudian mengambil posisi duduk berderet  bersebelahan dengan kesepian pembicaraan. Â
"Kabarnya serangan jantung" salah satu kerabat anumerta menyahut pelan atas kata tanya seorang pelayat, yang melulu manggut manggut disampingnya .
"Iya istrinya" kembali kerabat sama menjawab pelayat disisi sebelah lainnya, mungkin dia merupakan warga baru di lingkungan yang sedang kelabu ini.
Tetangga atau handai yang mengenal almarhumah ibu Rita bisa dipastikan terkejut atas kepulangan akhir ini, bagaimana tidak almarhumah  belum tergolong  tua mengingat usianya dibawah angka lima puluh tahun. Namun begitulah umur memang ada pemilikNya.
Menerawang kedalam ruang rumah duka yang duka, pasti saja mesti diseling aktivitas enggak semata atmosfir sungkawa. Kegiatan sembahyang, dan persiapan perjalanan tanah tertampak berlalu lalang mengisi kepergian mendiang ibu Rita.
Melengkapi kesudahan memandikan jasad adalah periasan wajah guna memperoleh  kepantasan atau barangkali kecantikan akhir untuk  menjelang ke dinding kotak bawah tanah sebagai rumah baru  Pula di isyaratkan bahwa riasan diri selain kenangan paras ujung yang ditinggalkan,  juga bsa saja sebagai pengenalan wajah menghadapi tatakrama dikomunitas baru bernama kuburan.
Memang adalah satu prakarya duka tersulit, ada pada periasan ini, yang dimana mana dandan atau make up setelah kematian tentu saja berbeda dengan riasan wajah berkehidupan, bukan saja mensyaratkan ketrampilan jemari perias tapi juga kerja rasa hati guna menemukan tingkat kesamaan. Tapi bisakah riasan paras selagi kehidupan bakal serupa dengan setelah kematian?
Ibu Ine perias jenasah didampingi asiten telah pula kunjung, tergopoh memasuki ruang tidur kematian, tangan berpengalamannya lincah menyisih setiap pernik make up. Sembari mata lancipnya menyusur lapisan kulit wajah mendiang, seakan membaca teliti setiap lipatan kerut bak membaca biografi.Â
Ibu Ine ada mengenal meski tak lekat dengan Rita almarhumah, ada semacam beban dikalbunya untuk mempersolek seindah keahliannya, suatu riasan keren guna menyenangkan  rasa yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Meskipun disepanjang  jejak pengalaman soleknya dia tak pernah satu kali pun merasakan kepuasan merias pasca kematian. Â
Demikian sulit lah, tanpa melihat  dengan seksama garis garis lipatan perjalanan yang tercetak diwajah penidur fana, seseorang perias mayat bakal mendapatkan karyanya bisa jadi memangling bahkan mengerikan.