Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perias Wajah Akhir

7 September 2019   11:01 Diperbarui: 7 September 2019   11:16 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ya itulah, seorang perias mayat asli, notabene juga seorang  yang pembaca kerut wajah, seorang pengamat pipi yang menulis memoir. Bukankah kedua pipi kita juga adalah pencatat riwayat hidup?

"Monggo dipersilahkan mulai"  adik sekandung almarhumah menyilakan perias baya itu bekerja. Ibu Ine pun segera memoleskan pelembab dan jemari mulai merabakan setiap puncak dan lembah dari lipatan di kulit wajah pasiennya. Sedikit tempo, kedua telapaknya memoles halus, yang sekejap berhenti dilipatan karena tertahan kalbu. Beberapa titik kerut pun di tandai didalam hati, sebelum dia melanjurkan tahap riasan sebenarnya. 

Dari mulai pelapis tipis dasar, bedak halus dan pemerah pipi lembut samar diusapnya dengan bernas.  Bayang kelopak mata disapukan berlapis merata, hingga berakhir pada  pekerjaan memulas bibir, yang menegas namun tidak terlalu jreng. Tahap substansi rias pun rampung, tinggal finishing yang merupakan tahap akhir penentuan. 

Perias Ine menekun lama, menatap wajah olahannya, dan itu dirasa datang lagi, ada semacam  kegundahan dan ketakterimaan didalam dada wanita baya ini. Namun dipaksakannya bekerja kembali mengakhiri tahap finishing riasan hingga gerak tangannya berhenti tanda selesai.

"Selesai mbak?" adik sekandung almarhumah mendekati sembari menatap kakak tersayang. Serta merta wajahnya terkaget, sambil menjamah pundak perias yang juga termangu. 

Keduanya memandang hasil riasan wajah dihadapannya begitu terlihat  hampa dan menderita. Tidak sedikitpun mencerminkan pelepasan bahagia dan kerelaan kepada kerabat yang ditinggalkan.

Ibu Ine sang perias memalingkan pandang ke perempuan yang ditinggalkan itu, dia tercenung , tak pernah alami sepelik apapun di seperjalanan riasnya terhadap wajah beku seperti ini. Seburuk yang dimengerti, garis lipatan wajah penyintas baka, selalu saja mikul duwur mendem jero guna membantu mendapatkan rias akhir yang menyenangkan semua.

"Garis garisnya begitu rumit, say" sapa sang perias lirih. "Apalah gerangan terjadi?" sambungnya.

Adinda mendiang yang terduduk disisinya, terlihat membasah matanya, tanpa sadar bibirnya berbisik.

"Suaminya selingkuh.."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun