"Wo, wo, wow.."
"Gak bisa bosku!"
"Harus!"
"We, we, wew.."
"Jamin kalah lah!"
Tut..tut. tut.. ifon dipotong crek!
Endi berkeringat dikamar sejuknya, dia bergidik. Barusan bos top markotopnya kembali mempressure, Â bak penyerang Madrid. Peperangan sudah berjalan pesat, tapi mesin partai berjalan ditempat. Pileg atau pilpres, satu atau dua, bisa bisa dua enggak dapet, satu juga enggak nyangkut. Endi jadi maju mundur cantik sendiri diatas babut, endasnya kalut.
"Kalo, lu mundur, gue beri lu. Inget jabatan lu!" kupingnya terngiang kata kasar bosnya. Dia merasa kupret, ditengah himpitan keterlanjuran terlalu memaksa diri menjadi bigman, the one and only. Merekayasa diri jadi suje, super jenius, yang menjadi puja dan omongannya selalu ditunggu manusia yang instan cita cita.Â
Sekarang, enggak bisa tidur, enggak bisa tidur! Seperti di acara superdeal. Zonk! Tak boleh sedikitpun kegagalan, atau seorang Endi akan terhempas kekelas underdog, memupuskan bangunan citra elite berkelas yang telah dimiliki.
Endi merasa lonely, Â setres dan overload, dia membutuhkan safety valve untuk merilis tekanan dibatok kepalanya.
Ting tong! Knob bel pintu kamar berdenyut.