Melepas sepatu dan mengenakan jas lab putih, aku merambah masuk. Ekstra dingin ruang ICU mencubit permukaan kulitku. Bau khas obat menyeruak menyengat indra penciumanku.
Adik Lazar terbaring kelu, selang darah membenam dilengannya. Masker zat asam mengatup hidungnya. Hirup napasnya perlahan satu demi satu. Bola matanya terkatup.
Aku mengusap lengannya yang kasat menghitam, pertanda darah tercemar tuba. Akupun iba tidak akan meninggalkan adik semata wayang.
Belum tengah malam aku tergugah oleh sapa suster penjaga. Rupanya aku terlelap disisi ranjang adik Lazar.
"Sebentar bapak" suster melepas seluruh instrumen transfusi. Aku menyingkir.
"Ada kemajuan, suster?" aku bertanya, sementara Lazar masih tertinggal sunyi.
"Cuci darah, ya pak. Segera kita bawa ke ruang dialisis" terangnya
Aku mengangguk, bersigap mengikuti.
Brankas pun bergelinding menuju ruang cuci darah. Dua perawat dialisis menyambutnya, kelihatannya sudah rampung menset up peralatan yang diperlukan. Mereka memindahkan tubuh Lazar dari brankar lalu memasang nosel pemusat aliran darah di lengan. Lazar meringis kesakitan, namun terlalu lunglai untuk bersuara. Â
Mesin dialisis pun bergerak memutar darah, suara  pusarannya halus berirama.  Lazar kembali terpejam, begitupun mataku ikut terkulai.
Dini fajar membuka mataku. Pembersihan darah berakhir, adik Lazar kembali merapat ke ruang ICU.