Sejak kasus penyegelan sepihak oleh Pemkot Bandarlampung 9 Desember 2014 lalu, kasus Polemik ruko pasar tengah Bandarlampung yang disegel sebanyak 70 ruko lebih seakan terbayarkan dengan adanya Putusan PTUN menolak seluruh eksepsi tergugat, yakni Pemkot Bandarlampung, dan mengabulkan gugatan pemilik ruko terkait Surat Keputusan (SK) Wali Kota Bandarlampung Nomor 590/181/IV.38.D/2014 tanggal 20 November 2014 perihal Teguran III atau terakhir.
Untuk mengetahui ringkasan kasus ini bisa baca di posting kami sebelumnya :
Menurut kajian tim hakim PTUN yang menangani kasus ini, Peraturan Wali Kota tentang Retribusi Pasar Tradisonal yang menjadi acuan keluarnya SK wali kota tersebut bertentangan dengan tata perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pajak dan Retribusi.
”HGB (hak guna bangunan) adalah uang pemasukan negara bukan pajak, yang kewenangannya mengacu pada permendagri dan kewenangan diteruskan kepada pemerintah daerah,” katanya.
Pengajuan HGB dan perpanjangannya bukanlah diajukan ke Pemkot melainkan ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan orang yang berwenang untuk memutuskan pemberian izin HGB dan perpanjangannya adalah Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN)
Keterangan lebih lanjut mengenai siapa yang berwenang menerbitkan HGB dan perpanjangannya bisa baca disini :
lalu setelah keputusan keluar alih-alih menerima kuputusan PTUN pihak pemkot yang dikomandoi oleh seorang walikota Tiran (bukan tiren) mulai lagi mengumbar ancaman di media massa yakni akan mengambil alih sekitar 14 ruko yang belum diperpanjang HGB nya selain mengajukan banding ke PTUN Medan.
Baru ini kita menyaksikan betapa ada sekelompok orang atau pribadi yang sangat keras kepala dan tidak mau kalah walaupun sudah jelas salah. Dan orang-orang ini adalah penguasa di Bandarlampung. Bila melihat tulisan-tulisan saya sebelumnya, sudah jelas bahwa pebatalan sepihak HGB adalah tidak diperbolehkan, melawan peraturan lebih tinggi juga berarti bersalah, melawan surat Mendagri yang membatalkan peraturan walikota juga salah, mengabaikan perintah PTUN untuk membuka segel ruko-ruko setelah setelah dilakukan penutupan lebih dari satu bulan (9 Desember 2014 - 12 Januari 2015) juga berarti bersalah, melakukan pembohongan dimuka hukum adalah pelanggaran sangat berat dengan mengatakan tidak mengetahui bahwa sudah ada ruko-ruko yang melakukan perpanjangan HGB di era Walikota sebelumnya
Bagaimana bisa pihak Pemkot tidak tahu ada pembayaran untuk perpanjangan HGB? Di sidang-sidang sebelumnya dan di media massa mereka sudah menjelaskan bahwa dalam rentang 2011-2014 pemkot sudah berapa kali memberikan surat kepada para peilik ruko termasuk peringatan pertama, peringatan kedua hingga peringatan terakhir yang menjadi materi gugatan para pemilik ruko. Lalu dalam surat-surat edaran pemkot tersebut apa saja yang tertulis?.
Kurang lebih edaran-edaran yang ada antara lain berisikan :
Gertakan dan ancaman agar para pemilik ruko membayar ulang uang perpanjangan HGB dengan besaran 160 juta hingga 250 juta.
Menyatakan bahwa pembayaran HGB di era walikota sebelumnya tidak berlaku karena perpanjangan HGB hanya bisa dilakukan 2 tahun sebelum jangka HGB berakhir.
Dimana dasar hukumnya? Dengan menggunakan PP No. 40 1996, Pemerintah kota berdalih bahwa perpanjangan HGB baru boleh dilakukan apabila tinggal dua tahun dari masa HGB. Padahal itu merupakan dalih yang salah. Pemerintah kota Bandarlampung sudah melakukan kebohongan publik secara terang-terangan. Setelah kami telusuri lebih jauh, menurut PP No. 40 1996 Pasal 27 ayat 1 : Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Pasal ini dipelintir seakan-akan pemilik ruko terlalu cepat membayar sehingga harus dibatalkan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dalam PP no. 40 tahun 1996 tidak dijelaskan waktu paling cepat untuk melakukan perpanjangan HGB, bisa 3, 4, 5 atau 6 tahun sebelum masa berakhir, hanya diatur selambat-lambatnya dua tahun sebelum masa berakhir.
Meminta para pemilik ruko untuk membayar kembali HGB dengan besaran berdasarkan zona 1, zona 2, zona 3 dan seterusnya dimana tidak pernah ada peraturan pemerintah pusat selain peraturan walikota (perwali) yang mengatur zona-zona tersebut.
Dasar hukum yang digunakan adalah Perwali No. 96A yang sudah dianulir oleh Mendagri tahun 2012. Seakan tidak takut dengan pemerintah pusat, Perwali ini masih dijadikan sebagai tameng untuk menyegel ruko-ruko pasar tengah 9 Desember 2014 lalu.
Padahal diatas sudah jelas-jels dan sudah terang benderang tugas dan tanggung jawab dari pejabat pemberi HGB yakni Kepala Badan Pertanahan Negara tetapi walikota tidak menyerah untuk menabrak peraturan. Mereka tetap mau campur tangan soal HGB ini. Mengapa walikota sangat bernafsu dan berambisi untuk menarik uang HGB ini? Dan nanti kemana larinya uang-uang tersebut? Mungkin tugas berwenang dan KPK yang bisa turun tangan menyelidikinya.
Bagaimana kelanjutan kasus ini pasca putusan PTUN yang menolak seluruh eksepsi tergugat, yakni Pemkot Bandarlampung, dan mengabulkan gugatan pemilik ruko?.
Apakah Pemkot tetap bersikeras melakukan pelanggaran berat lainnya dengan melawan perintah PTUN yang sudah menolak eksepsi Pemkot dengan melakukan penyegelan ulang terhadap 14 ruko terkait tidak diperpanjangnya izin HGB oleh walikota? Ooppss bukannya perpanjangan HGB ditentukan oleh kepala BPN dan bukan oleh walikota?
Mari kita saksikan bersama bagaimana kelanjutan kisah kejahatan hukum oleh oknum-oknum pemkot Bandarlampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H