Menyatakan bahwa pembayaran HGB di era walikota sebelumnya tidak berlaku karena perpanjangan HGB hanya bisa dilakukan 2 tahun sebelum jangka HGB berakhir.
Dimana dasar hukumnya? Dengan menggunakan PP No. 40 1996, Pemerintah kota berdalih bahwa perpanjangan HGB baru boleh dilakukan apabila tinggal dua tahun dari masa HGB. Padahal itu merupakan dalih yang salah. Pemerintah kota Bandarlampung sudah melakukan kebohongan publik secara terang-terangan. Setelah kami telusuri lebih jauh, menurut PP No. 40 1996 Pasal 27 ayat 1 : Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Pasal ini dipelintir seakan-akan pemilik ruko terlalu cepat membayar sehingga harus dibatalkan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, dalam PP no. 40 tahun 1996 tidak dijelaskan waktu paling cepat untuk melakukan perpanjangan HGB, bisa 3, 4, 5 atau 6 tahun sebelum masa berakhir, hanya diatur selambat-lambatnya dua tahun sebelum masa berakhir.
Meminta para pemilik ruko untuk membayar kembali HGB dengan besaran berdasarkan zona 1, zona 2, zona 3 dan seterusnya dimana tidak pernah ada peraturan pemerintah pusat selain peraturan walikota (perwali) yang mengatur zona-zona tersebut.
Dasar hukum yang digunakan adalah Perwali No. 96A yang sudah dianulir oleh Mendagri tahun 2012. Seakan tidak takut dengan pemerintah pusat, Perwali ini masih dijadikan sebagai tameng untuk menyegel ruko-ruko pasar tengah 9 Desember 2014 lalu.
Padahal diatas sudah jelas-jels dan sudah terang benderang tugas dan tanggung jawab dari pejabat pemberi HGB yakni Kepala Badan Pertanahan Negara tetapi walikota tidak menyerah untuk menabrak peraturan. Mereka tetap mau campur tangan soal HGB ini. Mengapa walikota sangat bernafsu dan berambisi untuk menarik uang HGB ini? Dan nanti kemana larinya uang-uang tersebut? Mungkin tugas berwenang dan KPK yang bisa turun tangan menyelidikinya.
Bagaimana kelanjutan kasus ini pasca putusan PTUN yang menolak seluruh eksepsi tergugat, yakni Pemkot Bandarlampung, dan mengabulkan gugatan pemilik ruko?.
Apakah Pemkot tetap bersikeras melakukan pelanggaran berat lainnya dengan melawan perintah PTUN yang sudah menolak eksepsi Pemkot dengan melakukan penyegelan ulang terhadap 14 ruko terkait tidak diperpanjangnya izin HGB oleh walikota? Ooppss bukannya perpanjangan HGB ditentukan oleh kepala BPN dan bukan oleh walikota?
Mari kita saksikan bersama bagaimana kelanjutan kisah kejahatan hukum oleh oknum-oknum pemkot Bandarlampung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H