Maka berontaklah Karto terhadap NKRI dan mendirikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sebagai antitesis PKI yang menurutnya terlalu dimanjakan rezim Bung Karno.
Namun tindak anarkis DII/TII yang keluar masuk kampung, merampok, menebar teror serta membunuhi warga tak pelak membuat gerombolan ini sama persis dengan PKI : sadis, brutal dan tak berperi kemanusiaan ! Maka bila PKI adalah Eki (Ekstrim kiri), DI/TII adalah Eka (Ekstrim kanan).
Alhasil Yonif 328 dan satuan Divisi Siliwangi turun meredam aksi DI/TII. Perlahan tapi pasti TNI mendekati persembunyian mereka yang kerap keluar masuk hutan dan naik turun gunung. Aksi ini dikenal dengan operasi Barata Yudha.
02 Juni 1962 pasukan DI/TII terdesak akibat formasi pengepungan pagar betis Yonif 328. Persediaan ransum pemberontak ini habis. Diperoleh info dari masyarakat, mereka merampok pemukiman warga untuk yang kesekian kalinya lalu melarikan diri di kaki gunung Gede.
Sebagai bukti bahwa DI/TII bukan representasi ajaran Islam ialah : Masyarakat serta para pemuka agama bekerja sama dengan Yonif Linud 328 dalam mencari jejak guna menumpas mereka.
Nah penangkapan Karto sendiri terjadi pada 2 Juni 1962 di kawasan kaki gunung Gede-Pangrango setelah terjadi baku tembak yang sengit.
Karto ditangkap dalam kondisi terbaring lemah diatas ranjangnya. Ia tampak kurus dan pucat. Kemudian oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper), karto diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Menandatangani berkas eksekusi mati sahabat
Berkas eksekusi mati atas nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo berkali-kali masuk dan berkali-kali pula disingkirkan dari meja kerja si bung besar.
Namun apa daya bung Karno ? Tekanan publik menguat dan keadilan harus ditegakkan. Hal ini sebagai tindakan tegas pemerintah terhadap para pemberontak dan gerombolan separatis yang coba coba merongrong kedaulatan Pancasila.
ACC pidana mati Karto ditanda tangani pada 16 Agustus 1962. Adapun eksekusi dilaksanakan 4 September 1962 subuh dini hari di sekitaran teluk Jakarta.