Maka spontan keduanya tertawa tergelak gelak.
peristiwa menggelikan ini dikutip dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.
Ya, kedekatan mereka lebih dari sekedar sahabat. Malah lebih pas seperti kakak beradik. Contohnya saja saat bung Karno mengadu pada Karto bahwa dirinya diganggu pemuda pemuda berandalan. Maka Karto pun tak terima. Ia menghampiri dan menghajar mereka hingga kabur lintang pukang. Sesudahnya ia memarahi Sukarno yang kerap bepergian seorang diri hingga larut malam.
"Karto, ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah air."Â (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.)
Dipisahkan takdir dan menjadi musuh besar
Takdir Tuhan membesarkan nama mereka, memisahkan mereka dan membuat mereka menjadi musuh besar satu sama lain.
Pandangan politik bung Karno dengan Karto kian terbentang jauh meski tetap dalam frame cinta Indonesia. Hingga tiba saat kemerdekaan diproklamasikan, bung Karno terpilih menjadi presiden. Beliau menerapkan ideologi nasionalis yang menurutnya smooth, moderat untuk diterapkan di Indonesia yang masih sangat belia. Beliau berkeyakinan Pancasila dengan bingkai nasionalisme adalah rumah ramah yang mampu mengakomodir seluruh elemen bangsa yang majemuk.Â
Adapun Karto memiliki ideologi relijius yang dikemudian hari bermetamorfosa menjadi Khawarij. Keras, frontal bahkan menjurus radikal sebagaimana yang dianut ISIS dan Al Qaeda Taliban. Sangat jauh berselisih dari ajaran Islam yang damai penuh kasih.
Berulangkali bung Karno berusaha memuliakan Karto dengan mengundangnya masuk ke dalam kabinet atau dialog bersama. Namun Karto menampik. Baginya Daulah Islamiyah atau tidak sama sekali !
Jalan terjal mendaki seorang Kartosoewirjo
Karto menganggap bung Karno bukanlah amir (pemimpin) yang sah. Maka siapapun yang bukan amirul mukminin maka dialah amirul kafirin. Sebuah logika patah menyesatkan yang merumuskan pemikiran Karto pada sebuah fatwa final bagi para pendukungnya : Bung Karno bukan ulil amri dan darahnya halal ditumpahkan !