Sebelum dihajar asam urat, mbah Siti hidup bersama kakak kandungnya yang bernama Rohkiat. Setelah sang kakak meninggal, penyakitnya makin parah sehingga memaksanya menghentikan segala aktifitas. Kendati masih mempunyai semangat mengajarkan ilmu yang dikuasainya, namun, kondisi dua kakinya enggan diajak kompromi.
" Pertanyaannya saya balik saja, kalau saya menolak merawatnya, terus siapa yang mau merawat Siti ? Sedangkan semua saudara kandungnya sudah meninggal," tukas Taslimah.
Konsekuensi menampung mbah Siti, maka sehari- harinya Taslimah bertugas mirip seorang perawat. Dengan dibantu Dalhari, mereka menyiapkan segala kebutuhannya mulai makan, mandi, buang air besar dan keperluan lainnya. Pasalnya, mbah Siti hanya mampu tergolek di atas kasur.
" Siti sebenarnya bukan type orang yang suka merepotkan orang lain, hanya karena kondisinya seperti itu, mau tak mau ya harus dibantu orang lain," kata Taslimah.
Karena tidak ada titik temu, akhirnya kami bersepakat untuk datang lagi sembari membawakan obat bagi mbah Siti. Beliau sangat antusias saat menerima sebotol obat herbal, sepertinya  obat tersebut pasti mampu menyembuhkannya. Secara spontan, mulutnya melantunkan berbagai doa- doa yang  seakan membaluri tubuh kami. Itulah sedikit cerita pilu seorang perempuan berusia senja, hidup tanpa keluarga namun tetap percaya akan kebesaranNya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H