Saat umurnya makin uzur, pasangan suami istri (Pasutri) Kaembi (70) dan  Sukinah (68) warga Dusun Tambak Selo RT 5 RW 2, Desa Pasekan, Ambarawa, Kabupaten Semarang , bukannya menjalani sisa usianya dengan bahagia. Sang kakek mengalami gangguan kandung kemih, sementara sang nenek lumpuh, buta serta bisu.
Keberadaan pasutri yang didera nestapa ini, baru terdeteksi oleh relawan di akhir bulan Desember tahun lalu. Penasaran dengan nasib mereka, akhirnya saya bertandang ke rumahnya yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Salatiga. Kebetulan, ada hamba Allah yang menitipkan bingkisan, sehingga harus segera saya sampaikan pada pasangan dhuafa ini.
Sempat "dihajar" di empat titik, akhirnya tiba juga di Desa Pasekan. Setelah mengontak Kepala Dusun (Kadus) Â Tambak Selo yang bernama Wahyu Astuti, saya diantar menemui pasutri malang tersebut. Dalam perjalanan, Bu Kadus menjelaskan bahwa pihak pemerintahan desa sebenarnya sudah memberikan perhatian terhadap Kaembi mau pun Sukinah. Hanya karena keterbatasan, maka bantuan-bantuan itu kurang optimal.
Sebelum tiba di ruangan yang dijadikan kamar Kaembi dan istrinya, kami melewati kandang serta dapur. Kondisi dapurnya lumayan memprihatinkan, terasa sejuk karena dinding anyaman bambu sudah banyak berlobang, akibatnya angin leluasa menerobos masuk. Otomatis, panasnya tungku tak terasa karena tiupan angin dari luar.
Pasutri renta tersebut tengah duduk di ranjang yang (maaf) jauh dari layak, kasurnya kumal parah. Usai menyalami Kaembi, saya menyalami  Sukinah, perempuan itu langsung menangis sesenggukan. Ia tak menyangka, kedatangan tamu dari jauh. Mulutnya terkunci, tidak mengeluarkan kata- kata. " Dia sudah empat tahun bisu, lumpuh dan matanya juga tidak bisa melihat," kata Kaembi sembari berkaca- kaca.
Menurut Kaembi, awalnya istrinya usai mandi sore, mendadak ia tak mampu bicara dan mengalami kelumpuhan. Secara perlahan, dua matanya juga mulai rabun hingga akhirnya tidak mampu melihat apa pun. Semenjak saat itu, kehidupan Sukinah  hanya terbatas di atas ranjang. Segala keperluannya dilayani sang suami, mulai buang air besar , buang air kecil, makan minum harus dibantu.
Karena ruangan sempit tak hanya berfungsi menjadi tempat tidur, melainkan juga berfungsi ganda sebagai toilet, maka tidak perlu heran bila kondisinya sangat memprihatinkan. Selain lembab, baunya bisa dibayangkan sendiri. Pokoknya, sedap. Saat  Sukinah saya pijit pundaknya, ia tertawa kegirangan.
Bertahun-tahun merawat sang istri dengan penuh cinta kasih, belakangan, Kaembi juga didera penyakit. Gangguan di kandung kemihnya, membuatnya tak mampu buang air kecil. Setelah menjalani pemeriksaan medis, dipasang kateter untuk menampung air kencingnya. Ke mana pun pergi, kantong plastik berikut selangnya harus dibawa.
Kaembi mengaku pernah menjalani opname di RSUD Ambarawa, namun, penyakitnya tetap betah ngendon di tubuhnya. Saat ditanya apa jenis penyakitnya, ia tak mampu menjelaskannya. "Kata pak dokter, ini gangguan syaraf," jelasnya tanpa memerinci syaraf mana.
Konsekuensi pemakaian kateter ini, Kaembi saban bulan harus datang ke mantri kesehatan untuk menggantinya. Sebab, bila tak diganti, air kencingnya tak mampu keluar. Selain itu, ia juga waspada saat kantong plastiknya sudah penuh, perlu segera dibuang isinya. "Kalau tidak dibuang, air kencing jadi mempet," ungkapnya.
Ketika saya tanya tentang keberadaan kartu BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan, Kaembi mengeluarkan beragam dokumen keluarga yang tersimpan di tas kresek. Ternyata, isinya hanya KTP (Kartu Tanda Penduduk) edisi lama plus Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Dirinya juga tak paham tentang fungsi BPJS mau pun KPS, yang diketahuinya, apa pun program pemerintah, kehidupannya tetap melarat.
Saya sangat bersyukur, tubuh sehat dan mampu makan tiga kali sehari. Ya Allah, kenapa Engkau berikan cobaan yang berat terhadap dhuafa ini? Dalam perjalanan menuju lokasi lainnya, saya harus mengepresiasi Kaembi. Cintanya terhadap sang istri, ternyata tidak tergerus oleh kejamnya alam. Terbukti, hingga usia uzur pun, dirinya setia menemani mantan kekasihnya. Entah sampai kapan pemerintah berdiam diri, sebab, idealnya mereka berada di panti jompo, bukan tinggal  di dekat kandang. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H