Mulai saat itu, mulailah duet Cepto dan Wuryandari mencoba memproduksi mainan tradisional itu. Memanfaatkan limbah triplek serta kayu yang didapatnya di salah satu toko kayu, mereka getol membuat beragam bus. Hingga sudah memiliki bentuk yang lumayan, hasil produksinya dititipkan di kios-kios yang ada di Lopait. Ternyata, bus buatan keduanya laku keras, padahal teknik pengecatan masih ala kadarnya.
Melihat hasil produksinya diterima oleh pasar, Cepto mau pun Wuryandari semakin getol mengembangkan usahanya. Hal ini, rupanya tercium salah satu dosen Politeknik Undip Kota Semarang. Rupanya, pembuatan mainan dengan cara konvensional mengundang simpati dosen tersebut. Sehingga, Cepto diminta membuat proposal guna mengikuti pelatihan. "Selesai pelatihan, kami diberi bantuan berupa kompresor dan gergaji mesin," jelas Wuryandari.
Itulah sedikit catatan tentang pasangan Septo dan Wuryandari yang piawai mensiasati hidup. PHK tak membuat mereka berputus asa, berkat ketekunannya mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri tanpa bergantung pada majikan. Kendati hasil yang dipetik belum terlalu menggemberikan, namun faktanya memanfaatkan limbah bisa menuai rupiah. Kesimpulannya, siapa pun yang mau bergerak serta inovatif sebenarnya tidak perlu takut kehilangan rejeki.
Bagaimana dengan Anda yang pernah jadi korban PHK? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H