Pasangan Cepto Hadi dan Wuryandari, warga Kintelan RT 03 RW 02, Candirejo, Tuntang, Kabupaten Semarang layak diapresiasi. Dengan memanfaatkan limbah triplek, keduanya berduet memproduksi mainan tradisional berupa bus, jeep hingga truck. Berkat usahanya itu, kehidupannya relatif mapan.
Di rumahnya yang sederhana di tengah perkampungan, ruang tengah lebih mirip "karoseri". Di mana, puluhan bus mau pun truck setengah jadi terparkir tak beraturan. Kendaraan-kendaraan besar itu, memang bukan angkutan yang sebenarnya. Beragam barang tersebut adalah mainan terbuat dari limbah triplek serta kayu hasil produksi Cepto dengan Wuryandari. "Ini tinggal finishing terus kita setorkan pada tengkulak di kios mainan yang ada di jalan raya Lopait," kata Wuryandari, Kamis (28/9) siang.
Diakui oleh Wuryandari, bila menuruti permintaan pasar, sebenarnya jumlah produksi ideal rata-rata 500 unit perbulan. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), maka mainan-mainan tersebut sulit ditambah kapasitas produksinya. "Saat ini kami tengah mencari SDM yang mau bekerja secara borongan agar permintaan pasar terpenuhi," ungkapnya.
Bahkan, beberapa kali Wuryandari mengaku menolak pesanan dari Kalimantan Timur karena memang dirinya sulit memenuhinya. Faktor SDM serta terbatasnya kapasitas produksi membuat ia mengabaikan order yang menggiurkan tersebut."Kami pernah mengirimnya ke Kalimantan Timur sekitar lima kali untuk menjajagi, tetapi setelah order meningkat, kami ternyata kewalahan," jelas Wuryandari yang mengaku juga aktif bersosmed ini.
Untuk memproduksi mainan berupa bus atau truck, Wuryandari membutuhkan modal berkisar Rp 10.000-Rp 20.000 tergantung ukurannya. Setelah difinishing, selanjutnya disetorkan pada tengkulak dengan harga Rp 100.000 unit, sedangkan pedagang menjual Rp 150.000. Artinya, bila rata-rata keuntungan Rp 80.000, maka dirinya dalam sebulan mampu mengantongi keuntungan minimal Rp 2,4 juta. Penghasilan yang lumayan karena tidak berada di bawah kendali orang lain.
Padahal, bila dicermati, cara membuat mainan berupa bus-bus itu sebenarnya sangat sederhana. Di mana, limbah triplek sebelumnya digambar dan selanjutnya dipotong sesuai ukurannya. Menggunakan lem kayu, potongan body itu dirangkai kemudian dihaluskan menggunakan amplas. Sedangkan bagian roda, dibuat dari limbah kayu yang dibubut membentuk roda-roda. Setelah semua terangkai, tinggal dicat serta diberi tulisan.
Usaha berbisnis mainan tradisional ini, sebenarnya ditemukan secara kebetulan. Di mana, di tahun 2013 lalu, ketika Cepto di PHK dari sebuah perusahaan swasta, ia merasa kelimpungan. Atas kesepakatan istrinya, mereka mencoba peruntungan dengan membuka kios onderdil sepeda motor di Krenceng, Sidomukti, Kota Salatiga. Karena lokasinya lumayan jauh, maka setiap malam hanya digembok selanjutnya ditinggal pulang.
Berdagang onderdil kendaraan, sebenarnya mempunyai prospek cerah mengingat hampir setiap orang mempunyai sepeda motor. Sayang, ketika usahanya berjalan dua pekan, mendadak kiosnya dibobol pencuri. Nyaris semua isinya dikuras habis sehingga kios tak mungkin dibuka kembali.
Mulai saat itu, mulailah duet Cepto dan Wuryandari mencoba memproduksi mainan tradisional itu. Memanfaatkan limbah triplek serta kayu yang didapatnya di salah satu toko kayu, mereka getol membuat beragam bus. Hingga sudah memiliki bentuk yang lumayan, hasil produksinya dititipkan di kios-kios yang ada di Lopait. Ternyata, bus buatan keduanya laku keras, padahal teknik pengecatan masih ala kadarnya.
Melihat hasil produksinya diterima oleh pasar, Cepto mau pun Wuryandari semakin getol mengembangkan usahanya. Hal ini, rupanya tercium salah satu dosen Politeknik Undip Kota Semarang. Rupanya, pembuatan mainan dengan cara konvensional mengundang simpati dosen tersebut. Sehingga, Cepto diminta membuat proposal guna mengikuti pelatihan. "Selesai pelatihan, kami diberi bantuan berupa kompresor dan gergaji mesin," jelas Wuryandari.
Itulah sedikit catatan tentang pasangan Septo dan Wuryandari yang piawai mensiasati hidup. PHK tak membuat mereka berputus asa, berkat ketekunannya mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri tanpa bergantung pada majikan. Kendati hasil yang dipetik belum terlalu menggemberikan, namun faktanya memanfaatkan limbah bisa menuai rupiah. Kesimpulannya, siapa pun yang mau bergerak serta inovatif sebenarnya tidak perlu takut kehilangan rejeki.
Bagaimana dengan Anda yang pernah jadi korban PHK? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H