Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Usai PHK, Pasangan Ini Berhasil Ubah Limbah Jadi Rupiah

28 September 2017   16:00 Diperbarui: 28 September 2017   19:18 3160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bus mainan yang dibuat dari limbah (foto: dok pri)

Pasangan Cepto Hadi dan Wuryandari, warga Kintelan RT 03 RW 02, Candirejo, Tuntang, Kabupaten Semarang layak diapresiasi. Dengan memanfaatkan limbah triplek, keduanya berduet memproduksi mainan tradisional berupa bus, jeep hingga truck. Berkat usahanya itu, kehidupannya relatif mapan.

Di rumahnya yang sederhana di tengah perkampungan, ruang tengah lebih mirip "karoseri". Di mana, puluhan bus mau pun truck setengah jadi terparkir tak beraturan. Kendaraan-kendaraan besar itu, memang bukan angkutan yang sebenarnya. Beragam barang tersebut adalah mainan terbuat dari limbah triplek serta kayu hasil produksi Cepto dengan Wuryandari. "Ini tinggal finishing terus kita setorkan pada tengkulak di kios mainan yang ada di jalan raya Lopait," kata Wuryandari, Kamis (28/9) siang.

Body bus mainan yang antre difinishing (foto: dok pri)
Body bus mainan yang antre difinishing (foto: dok pri)
Menurut Wuryandari, kapasitas produksi mainan bus mau pun truck di bengkel "karoseri" miliknya berkisar 5-10 unit atau sekitar 300 unit / bulan. Namun, menjelang hari raya Idhul Fitri, omzetnya terdongkrak sampai dua kali lipat. Sebab, permintaan konsumen yang mayoritas anak-anak kerap memburunya di lapak-lapak mainan tradisional.

Diakui oleh Wuryandari, bila menuruti permintaan pasar, sebenarnya jumlah produksi ideal rata-rata 500 unit perbulan. Namun, karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM), maka mainan-mainan tersebut sulit ditambah kapasitas produksinya. "Saat ini kami tengah mencari SDM yang mau bekerja secara borongan agar permintaan pasar terpenuhi," ungkapnya.

Roda kendaraan juga dibuat dari kayu limbah (foto: dok pri)
Roda kendaraan juga dibuat dari kayu limbah (foto: dok pri)
Kendati membidik pasar tradisional, namun, Wuryandari merasa optimis usahanya memiliki prospek cerah. Gempuran berbagai mainan produk pabrikan, tak dianggap sebagai saingan. Pasalnya, bus-bus dan truck yang dibuatnya mempunyai pelanggan tersendiri, yakni anak- anak yang bosan memainkan perangkat moderen.

Bahkan, beberapa kali Wuryandari mengaku menolak pesanan dari Kalimantan Timur karena memang dirinya sulit memenuhinya. Faktor SDM serta terbatasnya kapasitas produksi membuat ia mengabaikan order yang menggiurkan tersebut."Kami pernah mengirimnya ke Kalimantan Timur sekitar lima kali untuk menjajagi, tetapi setelah order meningkat, kami ternyata kewalahan," jelas Wuryandari yang mengaku juga aktif bersosmed ini.

Untuk memproduksi mainan berupa bus atau truck, Wuryandari membutuhkan modal berkisar Rp 10.000-Rp 20.000 tergantung ukurannya. Setelah difinishing, selanjutnya disetorkan pada tengkulak dengan harga Rp 100.000 unit, sedangkan pedagang menjual Rp 150.000. Artinya, bila rata-rata keuntungan Rp 80.000, maka dirinya dalam sebulan mampu mengantongi keuntungan minimal Rp 2,4 juta. Penghasilan yang lumayan karena tidak berada di bawah kendali orang lain.

Padahal, bila dicermati, cara membuat mainan berupa bus-bus itu sebenarnya sangat sederhana. Di mana, limbah triplek sebelumnya digambar dan selanjutnya dipotong sesuai ukurannya. Menggunakan lem kayu, potongan body itu dirangkai kemudian dihaluskan menggunakan amplas. Sedangkan bagian roda, dibuat dari limbah kayu yang dibubut membentuk roda-roda. Setelah semua terangkai, tinggal dicat serta diberi tulisan.

Wuryandari saat diajak berbincang (foto: dok pri)
Wuryandari saat diajak berbincang (foto: dok pri)
Kios Dibobol Pencuri

Usaha berbisnis mainan tradisional ini, sebenarnya ditemukan secara kebetulan. Di mana, di tahun 2013 lalu, ketika Cepto di PHK dari sebuah perusahaan swasta, ia merasa kelimpungan. Atas kesepakatan istrinya, mereka mencoba peruntungan dengan membuka kios onderdil sepeda motor di Krenceng, Sidomukti, Kota Salatiga. Karena lokasinya lumayan jauh, maka setiap malam hanya digembok selanjutnya ditinggal pulang.

Berdagang onderdil kendaraan, sebenarnya mempunyai prospek cerah mengingat hampir setiap orang mempunyai sepeda motor. Sayang, ketika usahanya berjalan dua pekan, mendadak kiosnya dibobol pencuri. Nyaris semua isinya dikuras habis sehingga kios tak mungkin dibuka kembali.

Beragam bus mainan yang diproduksi Cepto dan Wuryandari (foto: dok pri)
Beragam bus mainan yang diproduksi Cepto dan Wuryandari (foto: dok pri)
Pada saat kembali menganggur itulah, Cepto yang hoby utak atik kayu, menemukan limbah triplek. Triplek yang ukurannya tak seberapa, dipotong-potongnya menjadi beberapa bagian, kemudian dirangkai menjadi mobil-mobilan berbentuk jeep. "Ketika itu, ada temannya yang melihat dan menganjurkan agar diproduksi massal," tutur Wuryandari.

Mulai saat itu, mulailah duet Cepto dan Wuryandari mencoba memproduksi mainan tradisional itu. Memanfaatkan limbah triplek serta kayu yang didapatnya di salah satu toko kayu, mereka getol membuat beragam bus. Hingga sudah memiliki bentuk yang lumayan, hasil produksinya dititipkan di kios-kios yang ada di Lopait. Ternyata, bus buatan keduanya laku keras, padahal teknik pengecatan masih ala kadarnya.

Melihat hasil produksinya diterima oleh pasar, Cepto mau pun Wuryandari semakin getol mengembangkan usahanya. Hal ini, rupanya tercium salah satu dosen Politeknik Undip Kota Semarang. Rupanya, pembuatan mainan dengan cara konvensional mengundang simpati dosen tersebut. Sehingga, Cepto diminta membuat proposal guna mengikuti pelatihan. "Selesai pelatihan, kami diberi bantuan berupa kompresor dan gergaji mesin," jelas Wuryandari.

Mampu bersaing dengan mainan pabrikan (foto: dok pri)
Mampu bersaing dengan mainan pabrikan (foto: dok pri)
Sementara dari materi pelatihan, Cepto mendapatkan ilmu cara mengecat kayu dengan hasil yang bagus namun irit cat, termasuk teori memadukan warna. Berkat dukungan Politeknik Undip itulah, usahanya terus mengalami perkembangan karena hasil produksinya berani diadu. Hanya yang jadi kendala, faktor SDM tetap belum terselesaikan sampai sekarang ini.

Itulah sedikit catatan tentang pasangan Septo dan Wuryandari yang piawai mensiasati hidup. PHK tak membuat mereka berputus asa, berkat ketekunannya mereka mampu menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri tanpa bergantung pada majikan. Kendati hasil yang dipetik belum terlalu menggemberikan, namun faktanya memanfaatkan limbah bisa menuai rupiah. Kesimpulannya, siapa pun yang mau bergerak serta inovatif sebenarnya tidak perlu takut kehilangan rejeki.

Bagaimana dengan Anda yang pernah jadi korban PHK? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun