Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berusia 110 Tahun, Stasiun Kedungjati Tetap Kokoh dan Terawat

21 September 2017   16:42 Diperbarui: 22 September 2017   11:55 8666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang tunggu stasiun yang nyaman (foto: dok pri)

Stasiun Kereta Api (KA) Kedungjati, Kabupaten Grobogan yang mulai beroperasi tahun 1873, direnovasi total tahun 1907. Dalam usianya yang ke 110, bangunan fisiknya tetap kokoh tak tergerus zaman. Seperti apa kondisinya sekarang? Berikut penelusurannya, Kamis (21/9) siang.

Untuk menuju stasiun Kedungjati yang berjarak 41 kilometer dari Kota Salatiga, membutuhkan waktu tempuh 1,5 jam melalui jalur Bringin, Kabupaten Semarang. Bila lewat Gemolong, Kabupaten Sragen, maka bisa menelan waktu hingga dua kali lipat. Kebetulan, situasi jalan relatif sepi, hingga selepas Desa Tempuran perjalanan teramat sangat lancar.

Memasuki wilayah Kabupaten Grobogan, tepatnya usai melintas Desa Ngombak, mata disuguhi pemandangan hutan jati.Kondisi jalan sangat mulus karena aspal sudah diganti beton. Kendati begitu, banyak kelokan lumayan tajam sehingga kita harus ekstra hati- hati. Pasalnya, dari arah berlawanan sering ada sepeda motor main selonong tanpa membunyikan klakson, dalam kecepatan tinggi. Meleng sedikit, panjang urusannya.

Hingga tiba di pasar Kedungjati, tak sulit menemukan lokasi stasiun peninggalan perusahaan kereta api jaman pemerintahan kolonial Belanda yakni Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij(NISM). Sebab, keberadaannya  ada di pinggir jalan raya, sebelum perlintasan rel. Tinggal belok ke kanan sekitar 100 meter, maka kemegahan bangunan tempo dulu telah dapat dinikmati.

Ruang tunggu stasiun yang nyaman (foto: dok pri)
Ruang tunggu stasiun yang nyaman (foto: dok pri)
Memasuki halaman stasiun Kedungjati, tak terlihat aktivitas seperti galibnya pusat transportasi massal. Hanya terlihat, puluhan remaja putri asyik berselfie di sudut-sudut bangunan. "Ya setiap hari memang seperti ini pak, yang datang hanya anak-anak sekolah sekedar berfoto atau duduk-duduk," kata Bondan (24) petugas keamanan yang berjaga.

Saat sinar matahari panas menyengat, begitu memasuki bangunan stasiun, langsung terasa adem. Peron yang berkonstruksi baja atapnya setinggi hampir 15 meter sehingga udara leluasa memasuki peron. Bagian tembok mirip stasiun Willem I Ambarawa yang pinggirnya dibuat menggunakan batu bata ekspose.

Arsitektur bangunan mirip Museum KA Ambarawa (foto; dok pri)
Arsitektur bangunan mirip Museum KA Ambarawa (foto; dok pri)
Sedangkan lantainya yang dibuat berbentuk kotak-kotak berlobang, sangat terawat. Nyaris di seluruh ruangan terlihat bersih.  Untuk memelihara sekaligus melakukan perawatan bangunan bersejarah tersebut, diyakini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Apresiasi setinggi-tingginya kepada PT KAI yang mampu merawat cagar budaya ini.

Menurut Bondan, stasiun Kedungjati dalam sehari hanya disinggahi tiga kali kereta penumpang dan enam kali kereta barang. Untuk kereta penumpang yakni KA Kalijaga jurusan Semarang-Solo berhenti pukul 07.00 serta 10.00, sedangkan jurusan Senin-Malang menaikkan penumpang pukul 01.30. " Selebihnya hanya kereta barang yang berhenti sebentar," jelas anak muda tersebut.

Loket penjualan karcis masih seperti yang dulu (foto: dok pri)
Loket penjualan karcis masih seperti yang dulu (foto: dok pri)
Dibangun Tahun 1868

Meski sempat bekerja di sini selama hampir setahun lebih, namun, Bondan tak mampu menjelaskan cikal bakal stasiun Kedungjati. Ia hanya menyarankan supaya menemui Kristanto (45) yang bertugas sebagai pengatur perjalanan KA. Pasalnya, Kristanto merupakan karyawan PT Kereta Api Indonesia (KAI) paling lama bertugas di stasiun ini. " Langsung saja ke pak Kris," ujarnya sembari menunjuk seorang pria bertubuh kecil di peron stasiun.

Apa yang diungkapkan oleh Bondan ternyata benar adanya, Kristanto adalah pegawai PT KAI yang bertugas di stasiun Kedungjati terlama. Sehingga, ia fasih menjelaskan seluk beluk peninggalan pemerintahan kolonial Belanda ini. 

"Stasiun ini sebenarnya dibangun tahun 1868 bersamaan dengan pembuatan jalur KA Semarang-Tanggung hingga Kedungjati," kata Kristanto.

Kristanto di meja kerjanya (foto: dok pri)
Kristanto di meja kerjanya (foto: dok pri)
Pihak NISM, lanjut Kristanto, butuh waktu 5 tahun untuk menuntaskan pembangunan rel mau pun stasiun. Saat beroperasi tahun 1873, bentuk bangunan masih didominasi kayu dan sangat sederhana. Baru di tahun 1907 dilakukan renovasi besar-besaran, semua tiang maupun konstruksi kayu dibongkar total. Sebagai gantinya, besi baja kelas satu dimanfaatkan menopang atap seng.

Begitu pun ruang tunggu, kantor kepala stasiun, gudang mau pun bangunan lainnya sengaja diganti tembok tebal bervariasi batu bata. Sedangkan jalur rel berjumlah lima, tiga untuk kereta jarak jauh, sedangkan yang dua jalur dipergunakan kereta jarak pendek (Bringin, Tuntang dan Ambarawa). " Saat ini dua jalur pendek tidak difungsikan karena route ke Bringin sementara tidak dihidupkan," ungkapnya.

Alat pengatur palang pintu tinggalan NISM (foto: dok pri)
Alat pengatur palang pintu tinggalan NISM (foto: dok pri)
Untuk perawatan lingkungan stasiun, sehari- hari terdapat 6 orang karyawan lepas yang bertugas menyapu bersih mulai halaman hingga peron. Hasilnya, sulit menemukan sampah tercecer di lingkungan ini. Begitu pun menjelang memasuki peron, terlihat besi- besi pengatur sinyal yang teronggok rapi. Bahkan, sepertinya debu pun enggan menempel.

Calon penumpang yang nunggu kereta (foto: dok pri)
Calon penumpang yang nunggu kereta (foto: dok pri)
Ada sisi menarik ketika memperhatikan aktivitas Kristanto, di mana, sebagai petugas pengatur perjalanan KA, ternyata ia juga diserahi tanggung jawab menjaga pintu lintasan rel. Alat yang digunakan merupakan peninggalan jaman NISM, yakni tuas besi terhubung ke palang pintu memanfaatkan kawat baja sepanjang 100 meter. Tuas tersebut bukan sekedar ditarik, namun diputar puluhan kali sehingga palang pintu naik turun.

Itulah penelusuran keberadaan stasiun Kedungjati yang di eranya pernah mengalami kejayaan. Kendati sekarang fungsinya lebih banyak untuk foto-foto maupun pengambilan gambar prewedding, Namun, kokohnya bangunan serta terawatnya tempat ini sangat layak diacungi jempol. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun