Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menjajakan Wisata di Kampung Pelangi

12 Mei 2017   13:55 Diperbarui: 12 Mei 2017   14:00 2312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah warga yang dicat warna warni (foto: dok pri)

Namanya Kampung Pelangi terletak  di Desa Bejalen, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Kendati belum sepenuhnya sempurna,namun, upaya anak- anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna di pinggiran Rawa Pening ini layak diapresiasi. Seperti apa keberadaannya ? Berikut catatan kunjungan saya untuk Kompasiana tentunya.

Penasaran dengan adanya berita tentang kreatifitas anak- anak muda di Desa Bajelen, akhirnya, Kamis (11/5) sore, saya bertandang ke Kampung Pelangi yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Salatiga. Mumpung tanggal merah, jadi bisa menonton animo masyarakat yang tengah berselfie di pinggiran sungai berpadu beragam warna. Sehingga, kata warga setempat mampu mebuat hidup menjadi lebih hidup.

Sekitar pk 16.00 berangkat ke Ambarawa, hanya membutuhkan 20 menit sudah tiba di jalan lingkar. Usai melewati Kampoeng Rawa, terpaksa harus clingak clingukmencari petuntuk jalan ke Kampung Pelangi. Pasalnya, tak terlihat baliho mau pun gapura yang bisa dijadikan pedoman, jauh berbeda dibanding Kampoeng Rawa  yang keberadaannya bisa terlihat dari jalan raya. Padahal, sama- sama ada di Desa Bejalen.

Baru setelah bertanya pada pencari rumput, akhirnya jalan menuju Kampung Pelangi ketemu juga. Papan petunjuknya kecil, paling ukuran 10 centimeter lebar sekitar 25 centimeter. Otomatis, orang lewat yang menggunakan kendaraan roda empat alamat kebablasan. Idealnya, petunjuk diganti menggunakan baliho atau spanduk MMT.

Gapura gerbang Kampung Pelangi (foto: dok pri)
Gapura gerbang Kampung Pelangi (foto: dok pri)
Hanya berjarak sekitar 100 meteran dari jalan raya, gerbang Kampung Pelangi sudah terlihat. Beberapa anak muda berseragam kaos biru menjaga pintu masuk, salah satu diantaranya bertanya apakah akan mengunjungi Kampung Pelangi atau ada kepeluan lain ? Setelah dijawab bakal bertandang, dia menyodorkan selembar karcis parkir seharga Rp 8.000, rinciannya parkir motor Rp 2.000, bea masuk Rp 2.000 perorang dan sebungkus snack  jenis sistik betutu seharga Rp 2.000.

Ratusan motor berjajar di tempat parkir (foto: dok pri)
Ratusan motor berjajar di tempat parkir (foto: dok pri)
Setelah memarkir kendaraan sesuai arahan penjaga pintu, pengunjung dipersilahkan berjalan kaki melewati gang sempit hingga menuju jembatan sungai Panjang. Pagar jembatan dicat warna warni sementara deretan rumah yang berada di kanan kiri sungai juga disaput cat beragam. Warna- warna menyolok mendominasi rumah- rumah tersebut, sayangnya belum semuanya berwarna.

Di sini, selain dinding rumah milik warga yang dicat warna warni, juga terdapat berbagai mural di tembok. Kendati muralnya masih kalah dibanding  mural- mural yang tersebar di penjuru Kota Salatiga, namun, bagi tingkat desa di pinggir Rawa , kreatifitasnya sudah cukup untuk dijajakan agar mampu menarik wisatawan.

Baru Dua Bulan

Sore itu, terlihat banyak anak baru gede (ABG) terlihat berada di lokasi, selain sekedar kongkow di bangku- bangku, mereka juga sibuk mengabadikan potret diri. Karena kebetulan cuaca cerah, maka rombongan remaja terus berdatangan. Sementara di sungai, beberapa sampan yang dilengkapi mesin tengah parkir menunggu carteran.

Sampan- sampan bermesin tersebut siap mengangkut penumpang, maksimal 4 orang dengan tarif Rp 150.000 menuju Jembatan Biru, Asinan, Bawen, ke Kampoeng Rawa Rp 75.000 atau hanya berputar- putar selama 30 menit Rp 30.000. Untuk naik sampan, pihak operator menyediakan jaket pelampung sebagai salah satu syarat jaminan keselamatan

Pengunjung berompi oranye tengah bersampan (foto: dok pri)
Pengunjung berompi oranye tengah bersampan (foto: dok pri)
Di salah satu rumah yang berfungsi sebagai Sekretariat Kampung Pelangi, seorang pemuda menggunakan pengeras suara bertindak selaku public relation (PR). Sembari menyetel lagu- lagu, ia berulangkali menawarkan pada pengunjung tentang sampan wisata dan berbagai hal tentang wisata dadakan tersebut. Lucunya, ketika rehat sejenak, saya tanya tentang cikal bakal perkampungan penuh warna itu, ia malah melengos saat mengetahui saya dari Kompasiana.

Beruntung, ada seorang pria setengah baya mengaku bernama Yusuf, ia sehari- harinya mencari nafkah sebagai operator sampan bermesin. Dirinya cukup lama merantau ke Kalimantan, setelah Kampung Pelangi dirintis, dia segera pulang. “ Kampung Pelangi baru dua bulan diwujutkan, ini masih belum sempurna karena rumah- rumah yang berwarna baru sepanjang sekitar 150 meter,” jelasnya.

Pusat mejeng para ABG (foto: dok pri)
Pusat mejeng para ABG (foto: dok pri)
Menurut Yusuf, ide mengubah perkampungan pinggir sungai menjadi Kampung Pelangi ini, dimulai sejak dua bulan lalu. Di mana, lokasi sungai kebetulan dijadikan tempat fotografi dengan mendatangkan foto model lokal. Dari aktifitas fotografi tersebut, belakangan Karang Taruna Desa Bejalen dan Kelompok sadar wisata (Pokdarwis)  yang dipimpin Anjar Eka Susanto terinspirasi mengubahnya jadi obyek wisata. “ Sebelum dimulai Karang Taruna serta Pokdarwis sempat melakukan kunjungan ke Jogja mau pun Malang,” ungkapnya.

Setelah dirasa mencukupi bekal pengetahuannya tentang tata kelola wisata, akhirnya warga yang tinggal di sepanjang pinggiran sungai diajak bermusyawarah. Rumah- rumah mereka yang menghadap sungai akan dicat warna warni untuk menarik perhatian wisatawan. Ternyata, gagasan tersebut direspon warga. Mulailah secara swadaya, dirintis pengecatan. “ Tahap awal baru sepanjang 150 meter, nantinya akan direalisasikan menjadi 500 meter,” jelas Yusuf.

Sungai Panjang yang jadi sarana pendukung (foto: dok pri)
Sungai Panjang yang jadi sarana pendukung (foto: dok pri)
Kendati belum sempurna, lanjut Yusuf, namun respon masyarakat cukup bagus. Terbukti, pada hari libur jumlah pengunjung mencapai 1.000 orang. Sementara di hari- hari biasa berkisar 50-100 orang dengan catatan cuaca terang benderang. Begitu pun manfaat yang dipetik warga, belakangan perekonomiannya ikut terdongkrak, termasuk dirinya. Banyak warga yang membuka warung, sehingga secara otomatis in come yang sebelumnya kosong berubah terisi.

Yusuf sendiri, pada hari libur biasa menjaring carteran sampan 7- 9 kali sehari. Sedangkan di hari biasa, paling banter hanya melayani 2 kali carteran. Setelah dipotong bahan bakar minyak, uang yang berhasil dibawanya pulang relatif lumayan dibanding saat merantau. “ Saya pribadi berharap Kampung Pelangi segera direalisasikan sepanjang 500 meter dan semua rumah mau dicat warna warni agar lebih semarak,” harapnya sembari menunjuk beberapa rumah yang belum dicat sesuai identitas Kampung Pelangi.

Begitulah catatan kunjungan ke Kampung Pelangi, meski masih banyak kekurangan, namun ide, kreatifitas dan terobosan yang dibuat anak- anak muda Desa Bejalen layak diacungi jempol. Mereka tidak apatis terhadap keadaan, mereka terus bergerak guna memajukan kampungnya. Hal paling penting, pengelolaan Kampung Pelangi jelas mengurangi angka pengangguran. Pasalnya, banyak pemuda yang sebelumnya berstatus sebagai pengangguran, sekarang ikut terlibat dalam pengelolaan wisata. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun