Namanya Kampung Pelangi terletak di Desa Bejalen, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Kendati belum sepenuhnya sempurna,namun, upaya anak- anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna di pinggiran Rawa Pening ini layak diapresiasi. Seperti apa keberadaannya ? Berikut catatan kunjungan saya untuk Kompasiana tentunya.
Penasaran dengan adanya berita tentang kreatifitas anak- anak muda di Desa Bajelen, akhirnya, Kamis (11/5) sore, saya bertandang ke Kampung Pelangi yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Salatiga. Mumpung tanggal merah, jadi bisa menonton animo masyarakat yang tengah berselfie di pinggiran sungai berpadu beragam warna. Sehingga, kata warga setempat mampu mebuat hidup menjadi lebih hidup.
Sekitar pk 16.00 berangkat ke Ambarawa, hanya membutuhkan 20 menit sudah tiba di jalan lingkar. Usai melewati Kampoeng Rawa, terpaksa harus clingak clingukmencari petuntuk jalan ke Kampung Pelangi. Pasalnya, tak terlihat baliho mau pun gapura yang bisa dijadikan pedoman, jauh berbeda dibanding Kampoeng Rawa yang keberadaannya bisa terlihat dari jalan raya. Padahal, sama- sama ada di Desa Bejalen.
Baru setelah bertanya pada pencari rumput, akhirnya jalan menuju Kampung Pelangi ketemu juga. Papan petunjuknya kecil, paling ukuran 10 centimeter lebar sekitar 25 centimeter. Otomatis, orang lewat yang menggunakan kendaraan roda empat alamat kebablasan. Idealnya, petunjuk diganti menggunakan baliho atau spanduk MMT.
Di sini, selain dinding rumah milik warga yang dicat warna warni, juga terdapat berbagai mural di tembok. Kendati muralnya masih kalah dibanding mural- mural yang tersebar di penjuru Kota Salatiga, namun, bagi tingkat desa di pinggir Rawa , kreatifitasnya sudah cukup untuk dijajakan agar mampu menarik wisatawan.
Baru Dua Bulan
Sore itu, terlihat banyak anak baru gede (ABG) terlihat berada di lokasi, selain sekedar kongkow di bangku- bangku, mereka juga sibuk mengabadikan potret diri. Karena kebetulan cuaca cerah, maka rombongan remaja terus berdatangan. Sementara di sungai, beberapa sampan yang dilengkapi mesin tengah parkir menunggu carteran.
Sampan- sampan bermesin tersebut siap mengangkut penumpang, maksimal 4 orang dengan tarif Rp 150.000 menuju Jembatan Biru, Asinan, Bawen, ke Kampoeng Rawa Rp 75.000 atau hanya berputar- putar selama 30 menit Rp 30.000. Untuk naik sampan, pihak operator menyediakan jaket pelampung sebagai salah satu syarat jaminan keselamatan
Beruntung, ada seorang pria setengah baya mengaku bernama Yusuf, ia sehari- harinya mencari nafkah sebagai operator sampan bermesin. Dirinya cukup lama merantau ke Kalimantan, setelah Kampung Pelangi dirintis, dia segera pulang. “ Kampung Pelangi baru dua bulan diwujutkan, ini masih belum sempurna karena rumah- rumah yang berwarna baru sepanjang sekitar 150 meter,” jelasnya.
Setelah dirasa mencukupi bekal pengetahuannya tentang tata kelola wisata, akhirnya warga yang tinggal di sepanjang pinggiran sungai diajak bermusyawarah. Rumah- rumah mereka yang menghadap sungai akan dicat warna warni untuk menarik perhatian wisatawan. Ternyata, gagasan tersebut direspon warga. Mulailah secara swadaya, dirintis pengecatan. “ Tahap awal baru sepanjang 150 meter, nantinya akan direalisasikan menjadi 500 meter,” jelas Yusuf.
Yusuf sendiri, pada hari libur biasa menjaring carteran sampan 7- 9 kali sehari. Sedangkan di hari biasa, paling banter hanya melayani 2 kali carteran. Setelah dipotong bahan bakar minyak, uang yang berhasil dibawanya pulang relatif lumayan dibanding saat merantau. “ Saya pribadi berharap Kampung Pelangi segera direalisasikan sepanjang 500 meter dan semua rumah mau dicat warna warni agar lebih semarak,” harapnya sembari menunjuk beberapa rumah yang belum dicat sesuai identitas Kampung Pelangi.
Begitulah catatan kunjungan ke Kampung Pelangi, meski masih banyak kekurangan, namun ide, kreatifitas dan terobosan yang dibuat anak- anak muda Desa Bejalen layak diacungi jempol. Mereka tidak apatis terhadap keadaan, mereka terus bergerak guna memajukan kampungnya. Hal paling penting, pengelolaan Kampung Pelangi jelas mengurangi angka pengangguran. Pasalnya, banyak pemuda yang sebelumnya berstatus sebagai pengangguran, sekarang ikut terlibat dalam pengelolaan wisata. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H