Makam sang kakek, kata Beny, semuanya menggunakan material yang didatangkan dari Cina. Mulai tegel, bongpay (batu nisan) hingga relief- reliefnya. Maklum, sebagai orang paling kaya di Kota Salatiga masa itu, seleranya memang berkelas. Sehingga, kalau bukan barang impor kakeknya ogah menggunakan. “ Tapi ya itu tadi, di sini banyak barang hilang,” keluhnya.
Ayahnya, lanjut Beny, semasa berdinas di Bandung, Jawa Barat pernah menjadi pilot helikopter Bung Karno. Bahkan, ketika Presiden pertama itu datang ke Salatiga, almarhum Hendra yang mengemudikan helikopternya. “ Papah orang yang sangat sederhana, ketika pension, setiap bulan uang pensiunnya selalu diberikan orang lain yang membutuhkan,” jelasnya.
Padahal, hanya dengan melihat sekilas saja, akan terlihat bahwa kawasan sarat sejarah ini jelas- jelas terbengkalai. Beragam tanaman liar tumbuh subur tanpa perlu dipupuk. Kendati kerap dijadikan tempat berselfie mau pun pengambilan gambar prewedding, namun, para pengunjung sepertinya merasa nyaman berfoto secara gratisan. Yang mengherankan, Dinas Pariwisata Kota Salatiga (baru saja dibentuk), sepertinya bersikap pasif. Belum ada upaya menyelamatkan bangunan yang harusnya termasuk cagar budaya itu. Padahal, semisal dibenahi sangat layak jual. Bila diabaikan, maka cepat atau lambat bakal ambruk tak berbentuk.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H