Bangunan rumah peristirahatan dan penunjuk waktu yang terletak di areal pemakaman Cina, Ngebong, Kota Salatiga, belakangan kondisinya sangat memperihatinkan. Kendati merupakan milik perseorangan, namun, harusnya masuk cagar budaya karena telah berusia 102 tahun.
Sudah tiga kali saya bertandang ke lokasi pemakaman Ngebong ini, namun, hanya bertemu penjaga rumah peristirahatan. Keterangan yang saya dapat hanya sebatas berbagai bangunan merupakan peninggalan kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC jaman pemerintahan kolonial Belanda masih bercokol di negeri ini. “ Pemiliknya toko Oen di Jalan Jendral Sudirman,” kata penjaga.
Tan Gee Tjhiang merupakan pedagang yang membuka usahanya di kawasan kota, seperti galibnya orang Tionghoa, sebelum meninggal ia sudah memiliki tempat untuk memakamkan bila suatu saat nanti harus berpulang. Untuk itu, dibelinya lahan di areal pemakaman Cina Ngebong dengan lokasi paling tinggi. Dan dibangunnya rumah peristirahatan serta penunjuk waktu di tahun 1915.
Bentuk bangunan penunjuk waktu yang dimaksud Beny, sebenarnya lebih mirip gapura persegi empat. Di mana, di bagian atasnya terlihat tahun pembuatan yakni 1915 ( tahun Cina 2466). Untuk penggunaannya, orang hanya cukup melihat bayangan yang timbul akibat sinar matahari. “ Tidak tepat seperti jam – jam sekarang, tapi sudah bisa dijadikan patokan,” ungkap Beny.
Sementara untuk rumah peristirahatan yang dulunya dijaga oleh almarhum Muhamin, terdapat kamar- kamar dan juga toilet. Bangunan perpaduan gaya kolonial Belanda- Cina ini, di ruang tamu terdapat tulisan bahasa Belanda berbunyi Familie Begraafplatts Van Tan Gee Tjhiang en Tan Hing Gie, Salatiga Anno 1915 (artinya kurang lebih pemakaman keluarga Tan Gee Tjhiang dan Tan Hing Gie).
Kondisi rumah peristirahatan itu sendiri, terkesan kumuh. Bagian depan, terdapat jemuran pakaian, sedangkan di bagian samping oleh penjaganya diberi tambahan ruangan dari papan beratap seng. Akibatnya, semakin lengkap kekumuhannya. Sementara di bagian dalam, terlihat beberapa kamar dan terasa kental arsitektur Cinanya. Entah kenapa, di sore hari serasa gelap.
Di halaman samping, terlihat dua bangunan penunjuk waktu yang dibangun secara terpisah. Kendati sama- sama didirikan tahun 1915, namun, ornamen-ornamen khas bangsa Tionghoa sudah banyak yang raib dijarah tangan jahil. “ Dulu sebelum ada pagar keliling, orang bebas nongkrong di sini. Baik siang mau pun malam,” jelas Beny.
Makam sang kakek, kata Beny, semuanya menggunakan material yang didatangkan dari Cina. Mulai tegel, bongpay (batu nisan) hingga relief- reliefnya. Maklum, sebagai orang paling kaya di Kota Salatiga masa itu, seleranya memang berkelas. Sehingga, kalau bukan barang impor kakeknya ogah menggunakan. “ Tapi ya itu tadi, di sini banyak barang hilang,” keluhnya.
Ayahnya, lanjut Beny, semasa berdinas di Bandung, Jawa Barat pernah menjadi pilot helikopter Bung Karno. Bahkan, ketika Presiden pertama itu datang ke Salatiga, almarhum Hendra yang mengemudikan helikopternya. “ Papah orang yang sangat sederhana, ketika pension, setiap bulan uang pensiunnya selalu diberikan orang lain yang membutuhkan,” jelasnya.
Padahal, hanya dengan melihat sekilas saja, akan terlihat bahwa kawasan sarat sejarah ini jelas- jelas terbengkalai. Beragam tanaman liar tumbuh subur tanpa perlu dipupuk. Kendati kerap dijadikan tempat berselfie mau pun pengambilan gambar prewedding, namun, para pengunjung sepertinya merasa nyaman berfoto secara gratisan. Yang mengherankan, Dinas Pariwisata Kota Salatiga (baru saja dibentuk), sepertinya bersikap pasif. Belum ada upaya menyelamatkan bangunan yang harusnya termasuk cagar budaya itu. Padahal, semisal dibenahi sangat layak jual. Bila diabaikan, maka cepat atau lambat bakal ambruk tak berbentuk.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H