Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Di Salatiga, Penunjuk Waktu Usia 102 Tahun Nyaris Ambruk

5 Mei 2017   17:18 Diperbarui: 5 Mei 2017   18:18 9332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah peristirahatan yang dibangun tahun 1915 (foto: dok pri)

Prasasti dalam bahasa Belanda di rumah peristirahatan (foto: dok pri)
Prasasti dalam bahasa Belanda di rumah peristirahatan (foto: dok pri)
Karena banyak terdapat benda- benda kuno peninggalan masa lalu, para pencoleng pun kerap beraksi di malam hari. Beberapa patung hingga marmer asli buatan Tiongkok sengaja dicongkel untuk dijadikan duit. Hal tersebut bukan hanya terjadi di bangunan penunjuk waktu, namun juga menimpa makam kakeknya, yakni almarhum Tan Gee Tjhiang yang masih berada satu areal.

Makam sang kakek, kata Beny, semuanya menggunakan material yang didatangkan dari Cina. Mulai tegel, bongpay (batu nisan) hingga relief- reliefnya. Maklum, sebagai orang paling kaya di Kota Salatiga masa itu, seleranya memang berkelas. Sehingga, kalau bukan barang impor kakeknya ogah menggunakan. “ Tapi ya itu tadi, di sini banyak barang hilang,” keluhnya.

Ruangan dalam rumah peristirahatan (foto: dok pri)
Ruangan dalam rumah peristirahatan (foto: dok pri)
Sedangkan di depan rumah peristirahatan, terbaring ayah kandung Beny yang bernama Tan King Tjioe alias Hendra Tanubrata yang lahir tanggal 19 April 1918 dan meninggal tanggal 4 Mei 1992. “ Almarhum papah pensiunan TNI Angkatan Udara. Setelah purna tugas beliau membuka bengkel,” tutur Beny.

Ayahnya, lanjut Beny, semasa berdinas di Bandung, Jawa Barat pernah menjadi pilot helikopter Bung Karno. Bahkan, ketika Presiden pertama itu datang ke Salatiga, almarhum Hendra yang mengemudikan helikopternya. “ Papah orang yang sangat sederhana, ketika pension, setiap bulan uang pensiunnya selalu diberikan orang lain yang membutuhkan,” jelasnya.

Makam ayah Beny yang dulu pilot Bung Karno (foto: dok pri)
Makam ayah Beny yang dulu pilot Bung Karno (foto: dok pri)
Hingga pembicaraan selesai, Beny sempat menambahkan dulu dirinya pernah dihubungi pihak Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kota Salatiga. Konon, instansi tersebut akan membantu biaya perawatan atas beragam bangunan yang usianya sudah lebih dari satu abad tersebut. Namun, ibarat sang Don Juan yang gemar mengumbar janji, hingga sekarang tidak terealisasi.

Padahal, hanya dengan melihat sekilas saja,  akan terlihat bahwa kawasan sarat sejarah ini jelas- jelas terbengkalai. Beragam tanaman liar tumbuh subur tanpa perlu dipupuk. Kendati kerap dijadikan tempat berselfie mau pun pengambilan gambar prewedding, namun, para pengunjung sepertinya merasa nyaman berfoto secara gratisan. Yang mengherankan, Dinas Pariwisata Kota Salatiga (baru saja dibentuk), sepertinya bersikap pasif. Belum ada upaya menyelamatkan bangunan yang harusnya termasuk cagar budaya itu. Padahal, semisal dibenahi sangat layak jual. Bila diabaikan, maka cepat atau lambat bakal ambruk tak berbentuk.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun