Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membunuh dengan Cinta Itu Tak Berdosa

25 Oktober 2016   09:19 Diperbarui: 7 November 2016   22:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu harus paham, penaklukan Supiyah oleh Aluamah dan Amarah itu demi keseimbangan atau keselarasan  menuju Mutmainah.

Dengan kata lain, kamu sebagai Roh harus menang dalam mengola energi empat perkara. Roh yang berhasil mengelola energi empat perkara  itulah yang disebut Roh yang memiliki Cahaya. Dalam konsep kejawen disebut manunggaling kawulo lan Gusti. Dan   Cahaya yang berada dalam dirimu itu tidak lain adalah Sang Pemberi Hidup, Alloh SWT.

Tuhan berada dalam dirimu merupakan terjemahan bebas dari konsep ngelmu iku kelakone kanthi laku. Kamu tidak bakal memiliki cahaya tanpa nglakoni perang.

Aku melongo demi mendengar uraian Ki Sodron. Ilmu yang kudapat darinya bertambah banyak, sementara penasaranku makin menggila, karena terlalu banyak yang harus kutanyakan kepadanya.

Ki Sodron begitu enak menceriterakan bagaimana melakukan mati sak jeroning urip bersama dua orang cantrik buron polisi. Gatot dan Thiwul demikian nama samaran dua cantrik tersebut. Mereka pemakai sekaligus pengedar barang terlarang narkoba psikotropika.

Gatot dan Thiwul diajari cara berperang, diajari cara membunuh, diajari cara menaklukan, diajari teknik mengelola empat saudara kembar, dengan cinta, bukan dengan benci dan brutal.

Gatot dan Thiwul adalah saudara sepupu. Lebih dari sepuluh tahun mereka mengalami ketergantungan pada narkoba dan psikotropika. Orang tua mereka sudah habis-habisan. Lolos dari kejaran polisi karena mereka sengaja hanyut diri di Kali Oya saat banjir besar.

Kala itu Ki Sodron sedang berada di beranda Padepokan. Sekitar pukul 21.00 WIB. Gatot dan Thiwul berjalan tertatih setelah 2 jam bergulat dengan derasnya arus Sungai Oya.

Terang-terangan mereka menuturkan riwayat terdamparnya di kedung Watu Sipat karena sengaja melompat dari jembatan Watu Sigar menghindari kejaran polisi.

Kamu lihat sendiri, dua tahun mereka di padepokan hidup normal, bahkan kesehatanya tidak kalah dengan kamu. Tubuhnya kekar dan besar tidak sekurus saat mereka tiba. Mereka begitu rajin menanam sayuran untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Ki Sodron membeberkan dari a sampai z, bagaimana sejarah Gatot dan Thiwul menghilangkan ketergantungan obat terlarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun