Mohon tunggu...
Bambang Wahyu Widayadi
Bambang Wahyu Widayadi Mohon Tunggu... lainnya -

Menulis sejak 1979. di KR, Masa Kini, Suara Merdeka, Sinartani, Horison, Kompasiana, juga pernah menjadi Redpel Mingguan Eksponen Yogyakarta. Saat ini aktif membantu media online sorotgunungkidul.com. Secara rutin menulis juga di Swarawarga. Alumnus IKIP Negeri Yogyakarta sekarang UNY angkatan 1976 FPBS Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pernah mengajar di SMA Negeri 1 Sampit Kota Waringin Timur Kalteng, STM Migas Cepu, SMA Santo Louis Cepu, SPBMA MM Yogyakarta, SMA TRISAKTI Patuk, SMA Bhinakarya Wonosari, SMA Muhammadiyah Wonosari. Pernah menjabat Kabag Pembangunan Desa Putat Kecamatan Patuk. Salam damai dan persaudaraan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Perang Melawan Sampah Kota Jakarta

20 Maret 2016   09:58 Diperbarui: 20 Maret 2016   10:30 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meluncurkan Undang-Undang No 18 Tahun 2008. UU tersebut mengatur soal pengelolaan sampah. Hingga 2016, UU Sampah telah  berumur hampir sewindu,  tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibat ikutan, sampah menjadi hantu keseharian, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Harus bagaimana warga Jakarta  menangani sampah, adalah pertanyaan kecil tetapi tidak setiap orang suka mencari jawabnya.

Di dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 4 dinyatakan, penghasil sampah adalah setiap orang dan / atau akibat proses alam yang menghasilkan timbunan sampah.

Bertolak dari regulasi di atas, penanganan sampah tidak bisa diserahkan hanya kepada pihak tertentu, misalnya kepada pemerintah / negara. Setiap orang memiliki tanggungjawab atas penanganan sampah yang dihasilkannya. Tetapi kenyataan di lapangan berbeda. Aturan itu tidak dilaksanakan. Orang cenderung berprilaku menumpuk sampah di dalam kotak / bak, karena merasa bahwa pemerintah akan mengakutnya ke tempat yang telah ditentukan.

Pemandangan yang rutin terjadi, pagi hari sampah diusung ke Bantar Gebang, sore berikutnya sudah mengunung di tengah kota. Sampah menjadi hantu keseharian, mirip mitos Sisipus Yunani Kuno.

Jenis sampah yang ada di kota besar seperti Jakarta, sesuai UU No. 18 Tahun 2008 berupa: 1. sampah rumah tangga, 2. sampah sejenis sampah rumah tangga, 3. sampah spesifik.

Sampah yang disebut terkahir (sampah spesifik) merupakan sampah karena sifat, konsentrasi dan / atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.

Merujuk Pasal 1 Ayat 5, pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan, meliputi pengurangan dan
penanganan sampah.

Kemudian Pasal 12 Ayat 1 menyebutkan, setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah. Hal seperti ditegaskan UU itu belum dijalankan sepenuhnya. Warga DKI tidak melakukan inisiatif cerdas dalam mengurangi maupun menangani sampah.

Berikutnya ditegaskan  di Pasal 14 bahwa setiap produsen harus mencantumkan label yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan.

Dalam Pasal 15 disyaratkan, produsen wajib mengelola kemasan dan / atau barang yang diproduksi yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Menyangkut aturan seperti itu, belum ada cerita, bahwa para produsen mentaati kententuan tersebut.

Harus bagaimana? UU Sampah dan Peraturan Pemerintah  sudah ada, tinggal dijalankan. Apa susahnya?

Telah ada contoh ketika Joko Widodo menjadi penguasa DKI. Dia masuk got untuk memeriksa saluran, apakah memadai atau sebaliknya. Setelah Jokowi? Tidak satupun Pejabat Jakarta yang mengikuti jejak dia, memberi teladan mengamankan/memungut sampah, supaya negara dari sisi anggaran teringankan.

Penghuni kota Jakarta lebih suka mendewakan individualisme, mengesampingkan kolektivisme. Gotong royong memugut sampah di mata warga DKI  menjadi satu hal yang 'menjijikan' dan tidak patut dilakukan.

Teman Ahok (TA) bahkan lebih suka memungut KTP untuk sebuah menara gading berupa kekuasaan ketimbang memungut sampah. Padahal kalau TA berani melakukannya, hal itu biasa menjadi gebrakan politik yang menggegerkan Jakarta, senyampang bakal calon lain sibuk bereforia, kunjung sana-kunjung sini.

TA tidak berani, itu tidak salah, karena Ahok sendiri tidak berani mengikuti jejak  Jokowi. Dia lebih nyaman jual telunjuk, memerintah tentara, polisi dan Satpol PP untuk ngobok-obok saluran yang buntet karena kulit kabel.

Lalu? Menuding pemukiman liar sebagai produsen sampah dan penyebab banjir, bukan sebuah solusi. Itu merupakan cermin keputusasaan para pemangku kepentingan, termasuk segenap masyarakat metropolitan.

Selama gotong royong ditinggalkan, selama itu pula hantu sampah penyebab banjir sulit ditaklukkan. Realita terburuk, menganggap kuno nilai goto royong, siapa pun Gubernurnya, Jakarta tidak akan lolos dari hantu bernama banjir. 

Sangat ironis, gotong royong ditiupkan oleh Presiden,  depan Istana masih kebanjiran. Kelemahannya, gotong royong hanya kata majemuk, dan bukan perilaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun