Telah ada contoh ketika Joko Widodo menjadi penguasa DKI. Dia masuk got untuk memeriksa saluran, apakah memadai atau sebaliknya. Setelah Jokowi? Tidak satupun Pejabat Jakarta yang mengikuti jejak dia, memberi teladan mengamankan/memungut sampah, supaya negara dari sisi anggaran teringankan.
Penghuni kota Jakarta lebih suka mendewakan individualisme, mengesampingkan kolektivisme. Gotong royong memugut sampah di mata warga DKI Â menjadi satu hal yang 'menjijikan' dan tidak patut dilakukan.
Teman Ahok (TA) bahkan lebih suka memungut KTP untuk sebuah menara gading berupa kekuasaan ketimbang memungut sampah. Padahal kalau TA berani melakukannya, hal itu biasa menjadi gebrakan politik yang menggegerkan Jakarta, senyampang bakal calon lain sibuk bereforia, kunjung sana-kunjung sini.
TA tidak berani, itu tidak salah, karena Ahok sendiri tidak berani mengikuti jejak  Jokowi. Dia lebih nyaman jual telunjuk, memerintah tentara, polisi dan Satpol PP untuk ngobok-obok saluran yang buntet karena kulit kabel.
Lalu? Menuding pemukiman liar sebagai produsen sampah dan penyebab banjir, bukan sebuah solusi. Itu merupakan cermin keputusasaan para pemangku kepentingan, termasuk segenap masyarakat metropolitan.
Selama gotong royong ditinggalkan, selama itu pula hantu sampah penyebab banjir sulit ditaklukkan. Realita terburuk, menganggap kuno nilai goto royong, siapa pun Gubernurnya, Jakarta tidak akan lolos dari hantu bernama banjir.Â
Sangat ironis, gotong royong ditiupkan oleh Presiden, Â depan Istana masih kebanjiran. Kelemahannya, gotong royong hanya kata majemuk, dan bukan perilaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H