Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Negara Gagal, Rasa Malu, dan Buku

31 Januari 2025   07:46 Diperbarui: 31 Januari 2025   07:46 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Biasanya ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal," begitu kata Presiden Prabowo ketika membuka Rapim TNI-Polri di Gedung Tribrata, Kamis, 30 Januari 2025. Ucapan itu mengingatkan saya pada tiga buku politik dari para pakar kelas dunia dan dua buku karya penulis negeri ini.

Indonesia hari ini sungguh dapat dikaitkan dengan buku-buku analisis politik, bahkan buku sastra untuk membuka mata kita demi mengambil sikap berjaga-jaga terhadap fenomena bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Terlepas adanya narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi yang seolah sengaja menebarkan ketakutan, saya merasa biarkan buku berbicara. 

Ketakutan sesungguhnya adalah ketika apa yang diungkapkan para pendengung tentang ilusi negeri gemah ripah lohjinawi justru merupakan jalan pelan, tapi pasti menuju negara gagal.

Buku Noam Chomsky

Failed States: The Abuse of Power and the Assault on Democracy (Negara Gagal: Kekuasaan dan Kekerasan dalam Abad ke-21) adalah karya Noam Chomsky, seorang intelektual dan kritikus politik terkemuka. Buku ini menarik karena mengungkap ciri negara gagal.

Buku Chomsky kali pertama terbit pada 2006. Ia membahas bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat sering kali bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang jamak diklaim itulah yang mereka perjuangkan. Chomsky mendefinisikan bahwa negara gagal sebagai negara yang tidak mampu melindungi warganya, memiliki tingkat korupsi tinggi, sering menggunakan kekerasan, dan tidak menghormati hukum internasional. 

Ia berargumen bahwa Amerika Serikat (AS) sendiri memenuhi banyak kriteria ini. Fakta yang diungkap Chomsky tentang AS.

  • AS sering kali mengabaikan hukum internasional dan melakukan intervensi militer yang merusak (contohnya Irak, Afghanistan, dan dukungan terhadap rezim otoriter).
  • Demokrasi di AS sendiri melemah karena elite politik dan korporasi yang mengendalikan kebijakan, bukan rakyat.
  • AS menggunakan propaganda untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan mereka benar meskipun bertentangan dengan kepentingan global.

Pada hari ini kita melihat AS kembali dipimpin oleh Trump (Trump versi 2.0) dengan kebijakan kontroversialnya di balik slogan "Make America Great Again". Di belakangnya terlihat dukungan kuat pengusaha, seperti sosok Elon Musk dan Jeff Bezos. 

Belum 100 hari menjabat, Trump mengeluarkan kebijakan Darurat Energi Nasional melalui perintah eksekutif untuk kembali ke energi fosil. Ia membatalkan kebijakan iklim dari pemerintah Obama.

Trump juga menegaskan komitmennya untuk menjadikan AS sebagai pusat utama cryptocurrency dan kecerdasan buatan (AI) global. Soal AI ini sepertinya AS tertampar dengan kehadiran Deepseek dari China.

Hal yang mengejutkan, Trump memutuskan AS keluar dari WHO. Setelah itu disusul kebijakan membekukan semua bantuan asing AS ke luar negeri selama 90 hari. Trump mendesak  Badan Pembangunan Internasional AS atau USAID bergabung dalam kebijakan "America First".  Ia menyatakan bahwa bantuan asing tidak sejalan dengan kebijakan pemeritah AS.

Buku Chomsky mengajak pembaca untuk melihat bagaimana negara adidaya seperti AS sebenarnya dapat dianggap sebagai "negara gagal" karena penyalahgunaan kekuasaan, tindakan agresif, dan kegagalannya menjalankan prinsip-prinsip demokrasi yang mereka gembar-gemborkan. Chomsky ingin pembaca lebih kritis terhadap kebijakan global, terutama terkait imperialisme dan dominasi ekonomi-politik.

Apa yang terjadi di AS secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi Indonesia. Jika pemerintah Indonesia memutuskan bergabung ke BRICS, dapat ditengarai sebagai kecondongan terhadap Rusia dan China demi mengurangi kebergantungan terhadap AS dan negara-negara Eropa. 

Mari kita cermati arah AS selanjutnya sambil kembali membaca Chomsky dan apa yang sedang terjadi di negeri ini.

Buku Jared Diamond

Jared Diamond, seorang ilmuwan multidisiplin, dalam bukunya Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis (2019)---dikenal juga menulis buku laris Guns, Germs, and Steel serta Collapse---mengungkap teorinya bagaimana negara-negara menghadapi krisis besar dan apakah mereka mampu bangkit atau justru runtuh. 

Diamond membandingkan krisis nasional dengan mekanisme coping (penanggulangan) dalam psikologi individu, yaitu bagaimana suatu negara bisa belajar dari pengalaman, menerima kenyataan, dan melakukan perubahan untuk bertahan. Ia memberi contoh tujuh negara, yaitu Finlandia, Jepang, Chili, Indonesia, Jerman, Australia, dan Amerika Serikat.

Terkait Indonesia, ia mengkhawatirkan masalah besar yang dihadapi negara ini pascakrisis 1998 dan reformasi. Lima poin yang didalami Diamond soal Indonesia, yaitu 1) korupsi yang mengakar; 2) ketimpangan ekonomi; 3) ancaman perpecahan dan konflik sosial; 4) ancaman perubahan iklim; dan 5) sistem politik yang rentan.

Mungkin Diamond terkesan spekulatif dengan prediksinya itu. Namun, hal itu dapat menjadi sebuah alarm peringatan bahwa  Indonesia memang berisiko menuju negara gagal. Sebaliknya, Indonesia bakal menjadi negara tangguh jika mampu memadamkan dan menghadapi itu semua.

Saya bukanlah analis politik, apalagi pakar. Seperti orang kebanyakan, saya memandang kondisi Indonesia kini memang tidak sedang baik-baik saja. Presiden Prabowo menghadapi banyak PR, terutama demi mengeliminasi indikasi kelima poin seperti yang dikemukakan oleh Diamond.

Korupsi yang merajalela hingga triliunan rupiah dan ketidakmampuan KPK kini mengatasinya tengah menjadi sorotan. Demikian pula putusan pengadilan atas kasus-kasus megakorupsi yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.  

Hal yang mengemuka kini sehingga mengusik kedaulatan kita dan autokritik jargon "NKRI Harga Mati" ialah mencuatnya kasus pagar laut. Wilayah laut yang semestinya tidak dapat dikavling-kavling justru dimanipulasi menjadi kepemilikan individu. Semua itu memicu perlawanan terhadap praktik oligarki. 

Perang opini dan narasi pun terjadi, baik di media sosial maupun media elektronik. Kita sebagai satu bangsa seperti sedang diadu domba oleh kepentingan-kepentingan. 

Poin ketiga yang disodorkan Diamond tentang risiko ancaman perpecahan dan konflik sosial bukan tidak mungkin akan terjadi. Elite-elite politik yang "cuci tangan" sambil tutup mata terhadap kebijakan-kebijakan yang pernah diamininya sungguh menunjukkan dinamika sistem politik yang rentan.

Buku Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dua orang profesor ilmu politik Harvard, menulis How Democracies Die (2018). Mereka membahas bagaimana demokrasi tidak selalu runtuh melalui kudeta atau revolusi, tetapi sering kali mati secara perlahan dari dalam. Hal itu dapat terjadi ketika para pemimpin yang terpilih secara demokratis mulai melemahkan institusi demokrasi.

Ada banyak fakta sejarah ketika demokrasi runtuh akibat kudeta militer, seperti yang terjadi di banyak negara Amerika Latin atau Afrika. Namun, pada era modern, demokrasi lebih sering mati secara perlahan melalui pemimpin yang terpilih secara sah, tetapi kemudian menggerogoti sistem dari dalam.

Levitsky dan Ziblatt mengidentifikasi empat ciri utama pemimpin yang berpotensi menghancurkan demokrasi:

  • menolak aturan main demokrasi (misalnya, menolak hasil pemilu yang sah);
  • mengelegitimasi lawan politik (menuduh oposisi sebagai musuh negara atau kriminal);
  • mendorong kekerasan politik (mengizinkan atau mendukung tindakan kekerasan terhadap lawan); dan
  • membatasi kebebasan sipil (menekan media, peradilan, atau lawan politik).

Jika seorang pemimpin memiliki satu atau lebih dari ciri-ciri itu, demokrasi berada dalam bahaya. Seorang pemimpin dapat membuat demokrasi sekarat dari dalam melalui cara berikut.

  • melemahkan institusi demokrasi (peradilan, parlemen, dan media dibuat tidak berdaya);
  • mengubah aturan main politik untuk menguntungkan kelompok berkuasa; dan
  • menggunakan krisis sebagai alasan untuk memperluas kekuasaan (misalnya, dengan dalih melawan ancaman nasional).

Levitsky dan Ziblatt menggunakan contoh dari berbagai negara, termasuk Jerman pada era Nazi, Venezuela di bawah Hugo Chvez, Turki di bawah Erdogan, Hongaria di bawah Orban, dan bahkan peringatan tentang kondisi di Amerika Serikat.

Salah satu contoh yang diungakap adalah Donald Trump sebagai ciri pemimpin yang dapat merusakkan demokrasi. Faktanya Trump:

  • menyerang pers dan menyebut media sebagai "musuh rakyat";
  • mencoba melemahkan lembaga hukum dan independensi peradilan; dan
  • mendukung teori konspirasi dan menolak hasil pemilu.

Namun, Trump justru kembali karena terpilih secara demokratis untuk memimpin Amerika Serikat. Seperti yang sudah disampaikan, ia mengeluarkan perintah eksekutif mencengangkan. 

Tidak usah jauh-jauh dulu menimbang apa yang bakal terjadi di AS. Bagaimana dengan di Indonesia? Jika Levitsky dan Ziblatt merevisi bukunya yang terbit 2018, mungkin Indonesia bakal masuk sebagai contoh negara yang mengalami kematian pelan-pelan demokrasi.

Buku ini pernah viral karena Anies Baswedan mengunggah foto dirinya sedang membaca karya Levitsky dan Ziblatt tersebut. Bolehlah itu dianggap semiotika tentang apa yang dipikirkannya soal demokrasi di Indonesia.

Buku Prabowo

Indikasi-indikasi dari tiga buku yang telah dibahas sebelumnya ibarat sebuah paradoks dari bangsa yang besar bernama Indonesia. Tidaklah kita lupa pada apa yang dituliskan oleh Prabowo dalam bukunya bertajuk Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022). Hanya 1% orang Indonesia yang menikmati kemerdekaan.

Pada halaman 106 di subbab Demokrasi Kita Dikuasai Pemodal, Prabowo menulis begini.

Sekarang Indonesia berada dalam keadaan yang sangat rawan. Banyak pemimpin kita yang bisa disogok, bisa dibeli. Akhirnya banyak pemimpin terpilih tidak menjaga kepentingan rakyat, tidak mengamankan kepentingan rakyat, tetapi malah menjual negara kepada pemodal besar---bahkan kadang kepada bangsa lain.

Sepanjang hidup saya, saya sudah keliling ke semua kabupaten di Indonesia. Di tahun 2014 dan 2019 saja, saya berkesempatan berkeliling ke ratusan kota dan kabupaten. Di mana-mana, rakyat mengaku sudah tidak tahan lagi. Terlalu banyak korupsi di Republik Indonesia ini. Banyak proyek dikorupsi, banyak orang disogok. Banyak pemimpin kita mau dibeli dan mau disogok. Akhirnya tidak ada keadilan ekonomi bagi rakyat Indonesia. Tidak ada keadilan politik bagi bangsa Indonesia.

Prabowo benar tentang paradoks Indonesia itu. Salah satu sudut Indonesia yang bermasalah dan belum merdeka itu bernama Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, di Provinsi Banten. Hari ini kita melihat sebagai potensi kegagalan negara melindungi wilayah lautnya dan rakyatnya sendiri. Maka dari itu, TNI AL dikerahkan mencabuti pagar bambu yang ditancapkan oleh "makhluk astral" untuk membuang sial.

Buku Taufiq Ismail

Taufiq Ismail, kita mengenalnya sebagai penyair hebat.  Sewaktu menulis puisi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia", ia sempat dikritik karena dianggap "mempermalukan" bangsa sendiri. 

Buku kumpulan seratus puisi karya Taufiq Ismail itu terbit kali pertama 1998, pada masa Indonesia mengalami krisis moneter yang memicu tragedi Mei 1998 dan lengsernya Presiden Soeharto. Buku itu diberi kata pengantar oleh Kuntowijoyo dan isinya menjadi relevan dengan kondisi terkini Indonesia.

Melalui puisi itu terungkap keresahan dan kekecewaan Taufiq Ismail terhadap kondisi bangsa. Taufiq Ismail menggambarkan rasa malu sebagai orang Indonesia karena banyaknya masalah yang terjadi, seperti korupsi yang merajalela, ketimpangan sosial dan ekonomi, kebobrokan moral dan kepemimpinan, serta kemunduran nilai-nilai luhur bangsa.

Saya kutip sepenggal teks puisi Taufiq Ismail di sini:

...

II

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak--serak 
Hukum tak tegak, doyong berderak--derak 
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak 
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khlayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi 
....

Dengan nada yang getir, puisi itu mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi bangsa dan mempertanyakan apakah Indonesia masih berjalan di jalur yang benar. Bagaimana jika isi puisi itu dibandingkan hari ini? Masihkah relevan?

***

Ucapan Presiden Prabowo tentang ciri negara gagal yang ditujukan kepada institusi TNI-Polri adalah sebuah wanti-wanti. TNI-Polri merupakan dua institusi negara yang menjadi perwujudan kehadiran negara dan penegakan kedaulatan. Orasi Prabowo seperti mengingatkan situasi akhir-akhir ini tentang peran kedua institusi itu yang memiliki otoritas memegang senjata dan semua itu dibiayai oleh rakyat.

Sejatinya kita dapat belajar dari apa yang telah dituliskan di dalam buku-buku tentang sejarah ketangguhan dan keberlangsungan suatu negara. di balik keprihatinan yang mendera karena ulah manusia yang berkuasa. Sengaja saya cuplik lima buku itu di antara begitu banyak buku agar kita kembali pada kearifan pikiran dan perasaan yang bersumber dari budi pekerti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun