Telah menjadi pemandangan biasa ketika berpaspasan dengan satu keluarga. Anaknya yang balita atau usia SD menenteng tablet yang diberi kover lucu. Begitu mereka singgah di restoran, anaknya pun akan fokus pada tabletnya. Begitu mereka naik kereta api atau pesawat, anak-anak itu kembali fokus pada tabletnya.Â
Pemandangan biasa itu menjadi berterima karena sebuah kemajuan teknologi yang kita maklumi, apalagi terjadi pada keluarga-keluarga kelas menengah. Dua anak saya, satu Gen Z dan satu Gen Alfa adalah digital native. Sejak kecil mereka sudah akrab dengan konten digital, tetapi mereka tetap saya dekatkan dengan buku cetak. Anak sulung terutama, sejak dulu sudah mengonsumsi majalah cetak dan buku cetak hingga menjadi kebiasaannya sampai kini.
Suatu kali saya melihat novel yang dibacanya bertajuk Laut Bercerita karya Leila Chudori. Novel itu diberi tanda stiker pembatas di sana-sini berwarna warni. Ia memberi catatan pinggir. Hal yang jarang saya lakukan ketika membaca buku. Ia menggandakan beberapa impak membaca buku cetak: berdialog dengan dirinya sendiri, mencerna isinya, mencatatnya dengan tulisan tangan, dan mengapresiasi sebuah karya sastra.Â
Meskipun saya mengambil contoh terdekat Gen Z anak saya, tetapi generasi seperti inilah yang saya harapkan sebagai pegiat perbukuan. Orang-orang di negeri ini mungkin banyak mengeluhkan minat membaca generasi muda yang jeblok, tetapi tidak benar-benar serius berusaha menciptakan generasi membaca dari rumah dan ruang-ruang kelas.Â
Jangankan di daerah terpencil dan terluar di Indonesia yang seperti semut di seberang lautan, gajah di pelupuk mata justru tidak terlihat. Artinya, di kota-kota besar pun masih banyak sekolah yang kekurangan buku---saya berbicara tentang buku cetak. Aktivitas membaca buku yang itu-itu saja menjadi membosankan, apalagi buku yang sama sekali tidak menarik hati.Â
Di sisi lain ada kesan pembelajaran serbadigital merupakan suatu kemajuan. Digitalisasi cepat sekali berpengaruh terhadap kebiasaan seseorang belajar dan mengakses informasi. Di sekolah-sekolah dalam beberapa tahun belakangan ini, apalagi sejak pandemi Covid-19 semangat digitalisasi itu semakin terasa. Kita semakin beranggapan buku elektronik atau buku digital sebagai kemajuan yang tidak dapat dibendung, apalagi ketika bicara efesiensi dan efektivitas.
Namun, berita tentang Pemerintah Swedia memutuskan kembali pada pembelajaran tradisional menggunakan buku cetak, itu mencengangkan juga---seperti saya baca di carousel IG Kompas.com kemarin.
Satu Buku Satu Siswa
Ada masa era 1990-an ketika jargon "satu buku satu siswa" menggema dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Pemerintah hendak mewujudkan ketersediaan buku untuk seluruh siswa di Indonesia. Kesadaran terhadap media pembelajaran utama itu diwujudkan dalam beberapa proyek pengadaan buku secara nasional.
Kementerian Pendidikan Nasional di bawah kepemimpinan Bambang Soedibyo (2004--2009) memaklumkan pengadaan buku secara elektronik yang menandai fase adaptasi teknologi. Buku-buku teks dari penerbit swasta dinilaikan lalu diakuisisi oleh pemerintah. Buku-buku itu kemudian tersedia dalam bentuk elektronik berupa PDF. Lalu, masyarakat diperkenankan memperbanyak buku dengan cara dicetak. Inilah yang menurut saya agak laen.
Program itu dikenal dengan nama buku sekolah elektronik (BSE). Lucunya alih-alih disebut buku sekolah elektronik alhasil digunakan di sekolah-sekolah dalam bentuk buku cetak. Saya mengkritik program itu lebih memperkaya percetakan dan distributor daripada penulisnya. Penulis hanya dibayar putus sekali (di bawah Rp100 juta) dan buku itu diperbanyak dalam tiras puluhan ribu hingga ratusan ribu eksemplar yang nilainya miliaran.
Saya tidak membahas soal itu lebih lanjut, tetapi mari kita jejaki semangat digitalisasi ini.
Digitalisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia memang telah menjadi isu sejak komputer dan internet mulai menebarkan pengaruh dan pesonanya. Bahkan, pernah juga terbetik program "satu tablet satu siswa" yang berambisi menggantikan buku-buku cetak ke dalam bentuk elektronik atau digital hanya di dalam satu perangkat---program yang sama digagas di beberapa negara. Â
Program itu tak pernah terwujud karena meskipun device-nya murah, tetapi teknologi ternyata tak pernah lelah berlari. Dalam hitungan tahun, tablet itu pun menjadi barang usang.
Pada masa Kemendikbudristek dipimpin oleh menterinya yang pebisnis teknologi, arah digitalisasi juga terasa kental. Namun, posisi buku tetap tidak tergantikan. Kebijakan perbukuan pada masa itu melalui Pusat Perbukuan (Pusbuk) juga belum mewujudkan penyediaan buku cetak yang memadai karena fokusnya tersedia dalam bentuk PDF. Pusbuk kemudian memulai pengembangan buku audio dan buku elektronik generasi lebih maju bukan sekadar PDF.
Buku teks dan buku nonteks yang dihasilkan pemerintah ditaruh di platform bernama SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia) dan bebas diunduh. Beberapa judul dicetak secara terbatas. Buku-buku itu merupakan hasil kerja Pusbuk selama 2019--2024 ketika beralihnya Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, serta efek dari pandemi Covid-19.
Banyak judul buku pendidikan yang dihasilkan dengan mutu sangat baik, terutama buku nonteks (buku bacaan dari jenjang TK hingga SMA). Saya sendiri terlibatnya di dalamnya sebagai penulis buku teks (mapel Bahasa Indonesia kelas XII) dan anggota Komite Penilaian Buku Nonteks dan Buku Teks sejak 2019 hingga 2024.
Setelah itu, banyak sekali sebenarnya harapan masyarakat buku-buku tersebut tersedia dalam bentuk cetakan. Buku-buku nonteks yang merupakan buku bacaan (fiksi dan nonfiksi) semua jenjang dari Pusbuk, mengalami kemajuan dari segi mutu. Sayangnya, sekali lagi sayang, buku itu hanya dapat dinikmati dalam bentuk digital.
Becermin dari Kebijakan Pemerintah Swedia
Swedia, salah satu negara Nordik, dikabarkan mengambil kebijakan kembali ke buku cetak dengan mengoptimalkan kegiatan membaca tradisional dan menulis tangan. Kita ketahui bersama bahwa negara-negara Nordik sangat unggul dalam pendidikan, termasuk di antaranya Finlandia. Langkah kebijakan pendidikan mereka kerap menjadi sorotan dunia sebagai keunggulan Eropa.
Sejarah awal terjadi pada 2009 ketika Swedia mengambil langkah modernisasi terhadap sekolah-sekolah mereka. Kebijakan ekstrem diluncurkan, yaitu mengganti buku teks tradisional dengan komputer dan perangkat digital lainnya secara bertahap. Gagasan itu ditopang oleh upaya mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang digerakkan oleh teknologi.Â
Pemerintah Swedia percaya bahwa penggunaan komputer dan tablet bakal membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah diakses. Kebijakan itu membuat buku teks cetak secara bertahap digantikan dengan versi digital yang tampak lebih murah dan lebih mudah beradaptasi untuk masa depan. Anggapan yang menurut saya juga terjadi di Indonesia.
Tujuan adaptasi teknologi itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Ada banyak tantangan yang dihadapi kemudian.Â
Penelitian menunjukkan bahwa membaca di layar (terutama yang memiliki cahaya terang) dapat menyebabkan ketegangan mata dan kurangnya fokus dibandingkan buku cetak. Proses berpikir yang aktif pada saat membaca buku cetak tidak terjadi saat membaca buku digital pada layar. Siswa sulit memahami dan mengingat apa yang dibaca.
Selain itu, hambatan utama adalah distraksi akibat gim atau penjelajahan para siswa ke situs-situs web dan media sosial. Alih-alih berfokus untuk belajar mereka malah berselancar di dunia maya. Kebergantungan terhadap layar dalam waktu yang lama juga menimbulkan kekhawatiran pada menurunnya keterampilan sosial. Para guru dan orang tua mulai menyuarakan kekhawatiran itu.
Gebrakan pun dibuat oleh Pemerintah Swedia melalui Menteri Pendidikan, Lotta Edholm. Setelah lima belas tahun Swedia memutuskan kembali ke buku cetak dan tulisan tangan---berfokus kembali pada keterampilan literasi dasar membaca dan menulis. Edholm dikenal sebagai seorang yang kritis terhadap pendekatan teknologi digital dalam pembelajaran.
Program itu dimulai 2022 lalu dan ditargetkan hingga 2025. Pemerintah Swedia menggelontorkan dana 104 juta euro demi mengembalikan buku-buku cetak ke ruang kelas. Uang sebesar itu digunakan agar setiap siswa mendapatkan buku teks cetak untuk setiap mata pelajaran. Selain itu, dana itu juga digunakan untuk kampanye sosial dalam membantu sekolah beralih kembali ke metode pembelajaran tradisional.
Menurunnya skor PIRLS Swedia dalam kemampuan membaca siswa kelas IV sejak 2016--2021 salah satu yang menjadi alasan. Pada 2021, siswa kelas IV di Swedia memperoleh rata-rata 544 poin, turun dari rata-rata 555 pada tahun 2016. Akan tetapi, prestasi mereka masih menempatkan negara tersebut sejajar dengan Taiwan dalam hal nilai tes keseluruhan tertinggi ketujuh (The Guardian, 11/11/22023).
Sebagai perbandingan, Singapura---yang menduduki peringkat teratas---meningkatkan skor membaca PIRLS-nya dari 576 menjadi 587 selama periode yang sama, dan skor prestasi membaca rata-rata Inggris hanya turun sedikit, dari 559 pada tahun 2016 menjadi 558 pada tahun 2021.
Kembalilah ke Buku Cetak
Data menunjukkan bahwa buku cetak di Indonesia masih digdaya dalam soal penjualan dibandingkan buku elektronik atau buku digital. Di AS kesetimbangan antara buku cetak dan buku digital terjadi pada 2017 dan di Australia terjadi pada 2019 (Sumber: PwC). Di Britania pada 2018 buku elektronik lebih banyak dibeli dibandingkan buku cetak.
Jadi, seperti Jepang, China, dan Jerman, Indonesia masih lebih banyak mengonsumsi buku cetak dibandingkan buku elektronik. Faktor kesenjangan digital misalnya, dapat menjadi salah satu alasan kurang diminatinya buku digital. Selain itu, ada faktor kebiasaan dan kenyamanan.
Lalu, mengapa ada kesan kita begitu bersemangat mengalihkan pembelajaran tradisional ke pembelajaran digital, salah satunya dengan hanya menyediakan buku dalam format digital? Apakah ada pertimbangan efisiensi dana? Dengan alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, semestinya pencetakan buku bukan sesuatu yang memberatkan.
Buku teks dan nonteks gratis untuk siswa bukanlah seperti program Makan Bergizi Gratis yang berkelanjutan dari hari ke hari. Buku gratis, bahkan paling cepat hanya perlu diadakan setahun sekali. Ada investasi masa depan ketika siswa di seluruh Indonesia dapat mengakses buku cetak alih-alih buku digital dengan becermin pada pengalaman Swedi.
Membaca dengan kesenangan yang awalnya diprediksi meningkat pada buku digital ternyata malah menimbulkan distraksi. Alih-alih membaca, anak lebih banyak memirsa karena sumber belajar yang semakin beragam.
Saya memercayai ada kesenangan dan kemudahan yang hilang dalam membaca buku digital. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Williman Ozuem, dkk. bertajuk "The Impact of Digital Books on Marketing Communications"Â (Journal of Retailing and Consumer Services, Juni 2019) terdapat isu tactility (respons sentuhan) dalam konteks emosi. Buku cetak terbukti memiliki kekuatan emosional saat membacanya dibandingkan buku digital.
Salah seorang responden penelitian memberi komentar lucu seperti ini:
"Saya suka buku (cetak). Mereka seperti teman yang dapat saya kunjungi kembali dari waktu ke waktu. Saya suka melihatnya di rak saya. Saya dapat mengandalkan mereka untuk berada di sana, menulis di dalamnya, meminjamkannya, membagikannya, menangis pada mereka, atau melemparkannya pada seseorang!"Â
Karena itu, semoga ada pertimbangan Pak Mu'ti, Mendikdasmen, untuk mengerem digitalisasi buku atau menyeimbangkan antara ketersediaan buku digital dan buku cetak. Artinya, setiap ada judul baru buku digital harus tersedia buku cetaknya.
Semestinya buku-buku digital yang kini ada di SIBI dan merupakan produk Pusbuk dapat disediakan dalam bentuk cetak sebelum muncul judul-judul lain lalu menggunung tanpa dapat dimanfaatkan secara optimal. Pasalnya, tantangan kesenjangan digital, seperti ketiadaan gadget atau perangkat dan kompetensi menggunakannya masih jelas-jelas ada.
Demikian pula di pendidikan tinggi, penggunaan buku digital seperti dirayakan daripada buku cetak. Mahasiswa-mahasiswa itu pun kehilangan kearifan membaca buku cetak. Lalu, mereka pun dihadapkan dengan generatif AI dan tergagap untuk mampu membaca, menulis, dan menalar. Â Semua menjadi serbainstan.
***
Beberapa waktu lalu saya menonton video Prof. Stella, Wamendiktisaintek, tentang ampuhnya tulisan tangan dibandingkan mengetik di komputer. Teman saya di Facebook juga membuat status tentang kebiasaannya dulu membuat tulisan tangan. Tulisannya terkenal sangat rapi sehingga ia selalu mendapatkan tugas membuat catatan di papan tulis.Â
Itu pula yang saya lihat dari anak sulung saya, tulisan tangannya sangat rapi yang berarti motorik halusnya terbina sejak awal.
Di dunia penyuntingan naskah, saya tetap kukuh mengajarkan para calon editor untuk menyunting dengan menggunakan markah koreksi. Mereka harus menandai perbaikan teks dengan bolpoin merah secara manual, baik membubuhkan markah di dalam teks maupun di margin. Saya memercayai cara itu dapat meningkatkan intuisi kepenyuntingan. Si editor bakal menjadi lebih cerdas karena terjadi proses berpikir setelah membaca sebelum membubuhkan markah dengan tangannya.
Tokoh pendidikan, Mohammd Sjafei, pendiri INS Kayutanam dalam bukunya Arah Aktif (terbit awal 1950-an) menekankan pentingnya "tangan yang bergerak" dalam pendidikan dasar. Tangan yang bergerak akan membuat anak lebih cerdas. Demikianlah ketika membaca buku cetak, tangan turut bergerak membuka-buka halaman, menjepit buku ketika sedang mengobrol atau jeda berpikir, dan menulis ketika memberi catatan pinggir.Â
Itu menurut saya bukan sekadar romantisme membaca buku cetak, melainkan sebuah kecerdasan yang tidak kita sadari telah merambat ke dalam diri.
Nah, salah satu kementerian kita sedang sibuk membuat aturan pembatasan usia mengakses media sosial demi melindungi anak-anak di ruang digital---mungkin salah satunya melindungi diri dari para pendengung (buzzer). Sebelum lebih jauh menghindarkan anak dari paparan digitalisasi itu, cobalah menyelisik dulu kebijakan di dunia pendidikan kita tentang digitalisasi, terutama pendidikan dasar dan menengah.
Kembalilah ke buku cetak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H