Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembalilah ke Buku Cetak

18 Januari 2025   07:58 Diperbarui: 18 Januari 2025   07:58 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Telah menjadi pemandangan biasa ketika berpaspasan dengan satu keluarga. Anaknya yang balita atau usia SD menenteng tablet yang diberi kover lucu. Begitu mereka singgah di restoran, anaknya pun akan fokus pada tabletnya. Begitu mereka naik kereta api atau pesawat, anak-anak itu kembali fokus pada tabletnya. 

Pemandangan biasa itu menjadi berterima karena sebuah kemajuan teknologi yang kita maklumi, apalagi terjadi pada keluarga-keluarga kelas menengah. Dua anak saya, satu Gen Z dan satu Gen Alfa adalah digital native. Sejak kecil mereka sudah akrab dengan konten digital, tetapi mereka tetap saya dekatkan dengan buku cetak. Anak sulung terutama, sejak dulu sudah mengonsumsi majalah cetak dan buku cetak hingga menjadi kebiasaannya sampai kini.

Suatu kali saya melihat novel yang dibacanya bertajuk Laut Bercerita karya Leila Chudori. Novel itu diberi tanda stiker pembatas di sana-sini berwarna warni. Ia memberi catatan pinggir. Hal yang jarang saya lakukan ketika membaca buku. Ia menggandakan beberapa impak membaca buku cetak: berdialog dengan dirinya sendiri, mencerna isinya, mencatatnya dengan tulisan tangan, dan mengapresiasi sebuah karya sastra. 

Meskipun saya mengambil contoh terdekat Gen Z anak saya, tetapi generasi seperti inilah yang saya harapkan sebagai pegiat perbukuan. Orang-orang di negeri ini mungkin banyak mengeluhkan minat membaca generasi muda yang jeblok, tetapi tidak benar-benar serius berusaha menciptakan generasi membaca dari rumah dan ruang-ruang kelas. 

Jangankan di daerah terpencil dan terluar di Indonesia yang seperti semut di seberang lautan, gajah di pelupuk mata justru tidak terlihat. Artinya, di kota-kota besar pun masih banyak sekolah yang kekurangan buku---saya berbicara tentang buku cetak. Aktivitas membaca buku yang itu-itu saja menjadi membosankan, apalagi buku yang sama sekali tidak menarik hati. 

Di sisi lain ada kesan pembelajaran serbadigital merupakan suatu kemajuan. Digitalisasi cepat sekali berpengaruh terhadap kebiasaan seseorang belajar dan mengakses informasi. Di sekolah-sekolah dalam beberapa tahun belakangan ini, apalagi sejak pandemi Covid-19 semangat digitalisasi itu semakin terasa. Kita semakin beranggapan buku elektronik atau buku digital sebagai kemajuan yang tidak dapat dibendung, apalagi ketika bicara efesiensi dan efektivitas.

Namun, berita tentang Pemerintah Swedia memutuskan kembali pada pembelajaran tradisional menggunakan buku cetak, itu mencengangkan juga---seperti saya baca di carousel IG Kompas.com kemarin.

Satu Buku Satu Siswa

Ada masa era 1990-an ketika jargon "satu buku satu siswa" menggema dalam dunia pendidikan di Tanah Air. Pemerintah hendak mewujudkan ketersediaan buku untuk seluruh siswa di Indonesia. Kesadaran terhadap media pembelajaran utama itu diwujudkan dalam beberapa proyek pengadaan buku secara nasional.

Kementerian Pendidikan Nasional di bawah kepemimpinan Bambang Soedibyo (2004--2009) memaklumkan pengadaan buku secara elektronik yang menandai fase adaptasi teknologi. Buku-buku teks dari penerbit swasta dinilaikan lalu diakuisisi oleh pemerintah. Buku-buku itu kemudian tersedia dalam bentuk elektronik berupa PDF. Lalu, masyarakat diperkenankan memperbanyak buku dengan cara dicetak. Inilah yang menurut saya agak laen.

Program itu dikenal dengan nama buku sekolah elektronik (BSE). Lucunya alih-alih disebut buku sekolah elektronik alhasil digunakan di sekolah-sekolah dalam bentuk buku cetak. Saya mengkritik program itu lebih memperkaya percetakan dan distributor daripada penulisnya. Penulis hanya dibayar putus sekali (di bawah Rp100 juta) dan buku itu diperbanyak dalam tiras puluhan ribu hingga ratusan ribu eksemplar yang nilainya miliaran.

Saya tidak membahas soal itu lebih lanjut, tetapi mari kita jejaki semangat digitalisasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun