Salah seorang responden penelitian memberi komentar lucu seperti ini:
"Saya suka buku (cetak). Mereka seperti teman yang dapat saya kunjungi kembali dari waktu ke waktu. Saya suka melihatnya di rak saya. Saya dapat mengandalkan mereka untuk berada di sana, menulis di dalamnya, meminjamkannya, membagikannya, menangis pada mereka, atau melemparkannya pada seseorang!"Â
Karena itu, semoga ada pertimbangan Pak Mu'ti, Mendikdasmen, untuk mengerem digitalisasi buku atau menyeimbangkan antara ketersediaan buku digital dan buku cetak. Artinya, setiap ada judul baru buku digital harus tersedia buku cetaknya.
Semestinya buku-buku digital yang kini ada di SIBI dan merupakan produk Pusbuk dapat disediakan dalam bentuk cetak sebelum muncul judul-judul lain lalu menggunung tanpa dapat dimanfaatkan secara optimal. Pasalnya, tantangan kesenjangan digital, seperti ketiadaan gadget atau perangkat dan kompetensi menggunakannya masih jelas-jelas ada.
Demikian pula di pendidikan tinggi, penggunaan buku digital seperti dirayakan daripada buku cetak. Mahasiswa-mahasiswa itu pun kehilangan kearifan membaca buku cetak. Lalu, mereka pun dihadapkan dengan generatif AI dan tergagap untuk mampu membaca, menulis, dan menalar. Â Semua menjadi serbainstan.
***
Beberapa waktu lalu saya menonton video Prof. Stella, Wamendiktisaintek, tentang ampuhnya tulisan tangan dibandingkan mengetik di komputer. Teman saya di Facebook juga membuat status tentang kebiasaannya dulu membuat tulisan tangan. Tulisannya terkenal sangat rapi sehingga ia selalu mendapatkan tugas membuat catatan di papan tulis.Â
Itu pula yang saya lihat dari anak sulung saya, tulisan tangannya sangat rapi yang berarti motorik halusnya terbina sejak awal.
Di dunia penyuntingan naskah, saya tetap kukuh mengajarkan para calon editor untuk menyunting dengan menggunakan markah koreksi. Mereka harus menandai perbaikan teks dengan bolpoin merah secara manual, baik membubuhkan markah di dalam teks maupun di margin. Saya memercayai cara itu dapat meningkatkan intuisi kepenyuntingan. Si editor bakal menjadi lebih cerdas karena terjadi proses berpikir setelah membaca sebelum membubuhkan markah dengan tangannya.
Tokoh pendidikan, Mohammd Sjafei, pendiri INS Kayutanam dalam bukunya Arah Aktif (terbit awal 1950-an) menekankan pentingnya "tangan yang bergerak" dalam pendidikan dasar. Tangan yang bergerak akan membuat anak lebih cerdas. Demikianlah ketika membaca buku cetak, tangan turut bergerak membuka-buka halaman, menjepit buku ketika sedang mengobrol atau jeda berpikir, dan menulis ketika memberi catatan pinggir.Â
Itu menurut saya bukan sekadar romantisme membaca buku cetak, melainkan sebuah kecerdasan yang tidak kita sadari telah merambat ke dalam diri.