Selain itu, hambatan utama adalah distraksi akibat gim atau penjelajahan para siswa ke situs-situs web dan media sosial. Alih-alih berfokus untuk belajar mereka malah berselancar di dunia maya. Kebergantungan terhadap layar dalam waktu yang lama juga menimbulkan kekhawatiran pada menurunnya keterampilan sosial. Para guru dan orang tua mulai menyuarakan kekhawatiran itu.
Gebrakan pun dibuat oleh Pemerintah Swedia melalui Menteri Pendidikan, Lotta Edholm. Setelah lima belas tahun Swedia memutuskan kembali ke buku cetak dan tulisan tangan---berfokus kembali pada keterampilan literasi dasar membaca dan menulis. Edholm dikenal sebagai seorang yang kritis terhadap pendekatan teknologi digital dalam pembelajaran.
Program itu dimulai 2022 lalu dan ditargetkan hingga 2025. Pemerintah Swedia menggelontorkan dana 104 juta euro demi mengembalikan buku-buku cetak ke ruang kelas. Uang sebesar itu digunakan agar setiap siswa mendapatkan buku teks cetak untuk setiap mata pelajaran. Selain itu, dana itu juga digunakan untuk kampanye sosial dalam membantu sekolah beralih kembali ke metode pembelajaran tradisional.
Menurunnya skor PIRLS Swedia dalam kemampuan membaca siswa kelas IV sejak 2016--2021 salah satu yang menjadi alasan. Pada 2021, siswa kelas IV di Swedia memperoleh rata-rata 544 poin, turun dari rata-rata 555 pada tahun 2016. Akan tetapi, prestasi mereka masih menempatkan negara tersebut sejajar dengan Taiwan dalam hal nilai tes keseluruhan tertinggi ketujuh (The Guardian, 11/11/22023).
Sebagai perbandingan, Singapura---yang menduduki peringkat teratas---meningkatkan skor membaca PIRLS-nya dari 576 menjadi 587 selama periode yang sama, dan skor prestasi membaca rata-rata Inggris hanya turun sedikit, dari 559 pada tahun 2016 menjadi 558 pada tahun 2021.
Kembalilah ke Buku Cetak
Data menunjukkan bahwa buku cetak di Indonesia masih digdaya dalam soal penjualan dibandingkan buku elektronik atau buku digital. Di AS kesetimbangan antara buku cetak dan buku digital terjadi pada 2017 dan di Australia terjadi pada 2019 (Sumber: PwC). Di Britania pada 2018 buku elektronik lebih banyak dibeli dibandingkan buku cetak.
Jadi, seperti Jepang, China, dan Jerman, Indonesia masih lebih banyak mengonsumsi buku cetak dibandingkan buku elektronik. Faktor kesenjangan digital misalnya, dapat menjadi salah satu alasan kurang diminatinya buku digital. Selain itu, ada faktor kebiasaan dan kenyamanan.
Lalu, mengapa ada kesan kita begitu bersemangat mengalihkan pembelajaran tradisional ke pembelajaran digital, salah satunya dengan hanya menyediakan buku dalam format digital? Apakah ada pertimbangan efisiensi dana? Dengan alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, semestinya pencetakan buku bukan sesuatu yang memberatkan.
Buku teks dan nonteks gratis untuk siswa bukanlah seperti program Makan Bergizi Gratis yang berkelanjutan dari hari ke hari. Buku gratis, bahkan paling cepat hanya perlu diadakan setahun sekali. Ada investasi masa depan ketika siswa di seluruh Indonesia dapat mengakses buku cetak alih-alih buku digital dengan becermin pada pengalaman Swedi.
Membaca dengan kesenangan yang awalnya diprediksi meningkat pada buku digital ternyata malah menimbulkan distraksi. Alih-alih membaca, anak lebih banyak memirsa karena sumber belajar yang semakin beragam.
Saya memercayai ada kesenangan dan kemudahan yang hilang dalam membaca buku digital. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Williman Ozuem, dkk. bertajuk "The Impact of Digital Books on Marketing Communications"Â (Journal of Retailing and Consumer Services, Juni 2019) terdapat isu tactility (respons sentuhan) dalam konteks emosi. Buku cetak terbukti memiliki kekuatan emosional saat membacanya dibandingkan buku digital.