Digitalisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia memang telah menjadi isu sejak komputer dan internet mulai menebarkan pengaruh dan pesonanya. Bahkan, pernah juga terbetik program "satu tablet satu siswa" yang berambisi menggantikan buku-buku cetak ke dalam bentuk elektronik atau digital hanya di dalam satu perangkat---program yang sama digagas di beberapa negara. Â
Program itu tak pernah terwujud karena meskipun device-nya murah, tetapi teknologi ternyata tak pernah lelah berlari. Dalam hitungan tahun, tablet itu pun menjadi barang usang.
Pada masa Kemendikbudristek dipimpin oleh menterinya yang pebisnis teknologi, arah digitalisasi juga terasa kental. Namun, posisi buku tetap tidak tergantikan. Kebijakan perbukuan pada masa itu melalui Pusat Perbukuan (Pusbuk) juga belum mewujudkan penyediaan buku cetak yang memadai karena fokusnya tersedia dalam bentuk PDF. Pusbuk kemudian memulai pengembangan buku audio dan buku elektronik generasi lebih maju bukan sekadar PDF.
Buku teks dan buku nonteks yang dihasilkan pemerintah ditaruh di platform bernama SIBI (Sistem Informasi Perbukuan Indonesia) dan bebas diunduh. Beberapa judul dicetak secara terbatas. Buku-buku itu merupakan hasil kerja Pusbuk selama 2019--2024 ketika beralihnya Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka, serta efek dari pandemi Covid-19.
Banyak judul buku pendidikan yang dihasilkan dengan mutu sangat baik, terutama buku nonteks (buku bacaan dari jenjang TK hingga SMA). Saya sendiri terlibatnya di dalamnya sebagai penulis buku teks (mapel Bahasa Indonesia kelas XII) dan anggota Komite Penilaian Buku Nonteks dan Buku Teks sejak 2019 hingga 2024.
Setelah itu, banyak sekali sebenarnya harapan masyarakat buku-buku tersebut tersedia dalam bentuk cetakan. Buku-buku nonteks yang merupakan buku bacaan (fiksi dan nonfiksi) semua jenjang dari Pusbuk, mengalami kemajuan dari segi mutu. Sayangnya, sekali lagi sayang, buku itu hanya dapat dinikmati dalam bentuk digital.
Becermin dari Kebijakan Pemerintah Swedia
Swedia, salah satu negara Nordik, dikabarkan mengambil kebijakan kembali ke buku cetak dengan mengoptimalkan kegiatan membaca tradisional dan menulis tangan. Kita ketahui bersama bahwa negara-negara Nordik sangat unggul dalam pendidikan, termasuk di antaranya Finlandia. Langkah kebijakan pendidikan mereka kerap menjadi sorotan dunia sebagai keunggulan Eropa.
Sejarah awal terjadi pada 2009 ketika Swedia mengambil langkah modernisasi terhadap sekolah-sekolah mereka. Kebijakan ekstrem diluncurkan, yaitu mengganti buku teks tradisional dengan komputer dan perangkat digital lainnya secara bertahap. Gagasan itu ditopang oleh upaya mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang digerakkan oleh teknologi.Â
Pemerintah Swedia percaya bahwa penggunaan komputer dan tablet bakal membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah diakses. Kebijakan itu membuat buku teks cetak secara bertahap digantikan dengan versi digital yang tampak lebih murah dan lebih mudah beradaptasi untuk masa depan. Anggapan yang menurut saya juga terjadi di Indonesia.
Tujuan adaptasi teknologi itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Ada banyak tantangan yang dihadapi kemudian.Â
Penelitian menunjukkan bahwa membaca di layar (terutama yang memiliki cahaya terang) dapat menyebabkan ketegangan mata dan kurangnya fokus dibandingkan buku cetak. Proses berpikir yang aktif pada saat membaca buku cetak tidak terjadi saat membaca buku digital pada layar. Siswa sulit memahami dan mengingat apa yang dibaca.