Soal etika menghangat dalam debat capres beberapa waktu lalu, bahkan masih dihangatkan di media sosial. Etika juga ada dalam penulisan karya tulis ilmiah yang disebut etika akademis. Menjunjung etika akademis salah satunya dilakukan dengan kejujuran dan kehati-hatian dalam sitasi.Â
Plagiat secara hukum dapat berkonsekuensi pada tindakan pidana dan tindakan perdata. Namun, di dunia akademis, plagiat juga merupakan tindakan tidak etis yang dapat mencemari citra dan kredibilitas lembaga. Karena itu, bagi para pelanggar etika, misalnya di perguruan tinggi, diberi sanksi akademis yang tegas dan keras.Â
Hal ini memang termasuk kategori memalukan, apalagi jika dilakukan seorang doktor atau profesor/guru besar. Kasus plagiat yang tidak termaafkan adalah plagiat langsung (direct plagiarism)--memang sengaja dan diniatkan untuk menjiplak karya orang lain.
Banyak tindakan plagiat disebabkan oleh ketidaksengajaan karena keteledoran dan ketidakcermatan dalam sitasi atau bahkan ketidaktahuan. Maka dari itu, peningkatan kapasitas dalam penulisan akademis/sains perlu terus-menerus dilakukan agar tidak terjadi ketidaksengajaan yang berlanjut.
Saya tidak dapat menyalahkan mahasiswa yang keliru melakukan sitasi di dalam tugas akhirnya, bahkan ia tidak mengenali siapa pencipta yang karyanya ia kutip. Mengapa? Mahasiswa tersebut memang tidak pernah diajari bagaimana mengutip dengan baik dan benar. Jadi, mata kuliah penulisan akademis di kampus-kampus seyogianya ditinjau kembali, baik materi pembelajarannya dan dosen yang mengajarkannya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI